"Aku akan memaafkanmu, tapi tolong jangan paksa aku untuk masuk ke klinik itu dan melakukan aborsi terhadap kandunganku. Klinik ini ilegal," katanya memberitahuku.

Aku berpura-pura tidak tahu kalau klinik ini adalah klinik ilegal. Jelas saja. Aborsi itu sama saja dengan kejahatan.

"Ini tidak akan sakit," ucapku berusaha meyakinkannya.

"Aku tidak peduli dengan rasa sakitnya. Yang aku pedulikan hanyalah anakku. Lebih baik aku mati saat melahirkan anakku daripada aku yang membunuh anakku sendiri. Aku tidak akan memintamu untuk menikahiku seperti tadi. Yang terpenting jangan lakukan ini. Saat ini hanya dia yang kupunya," mohonnya. Kedua matanya terlihat berkaca-kaca. Argh! Aku jadi merasa tidak tega melihat itu.

Ingin sekali aku menarik tubuhnya ke dalam dekapanku. Tapi, aku tidak bisa melakukan itu. Setiap ucapannya selalu berhasil membuatku terdiam dan bingung harus menggunakan cara apalagi agar dia mau menyetujui usulku ini.

Aku jadi teringat ibuku dan kedua adikku. Mereka perempuan, sama seperti wanita itu, wanita yang 'katanya' sedang mengandung anakku.

"Dokternya pasti akan mengira kalau kita melakukan yang tidak-tidak sebelum terikat yang namanya pernikahan," ujarnya lagi.

"Bukannya itu memang benar? Pasti setiap pasangan yang pergi ke klinik ini kebanyakan adalah pasangan yang terjerat pergaulan bebas. Ya ... seperti kita," balasku.

Aku pernah membaca sebuah artikel tentang klinik aborsi yang katanya hampir 90% pasiennya adalah mereka yang kenal pergaulan bebas, anak-anak sekolah, dan sebagainya.

Saat membacanya aku tertawa miris, tapi ternyata tanpa diduga aku juga datang ke klinik ilegal ini atas kasus yang sama.

"Aku sudah tidak memiliki siapapun lagi. Aku hanya memiliki anak ini. Tolong izinkan aku untuk mempertahankannya. Aku akan membesarkannya seorang diri. Jika anak ini sudah besar, aku akan mengatakan kalau ayahnya sedang bekerja, ayahnya adalah orang yang hebat. Aku tidak akan mengatakan hal buruk tentangmu padanya. I promise to you," mohonnya lagi.

Aku tidak peduli lagi dia memohon seperti apa. Aku keluar dari mobil, lalu mengitari mobilku dan membukakan pintu di samping wanita itu duduk.

"Turunlah," pintaku.

Aku tersenyum miring, dia menuruti perkataanku. Seharusnya daritadi aku melakukan ini. Tidak perlu susah payah membujuknya, langsung saja buka pintu mobilnya dan menyuruhnya turun.

Bodoh sekali diriku.

Aku menyatukan tangan kiriku di tangan kanannya. Jari kami saling bertautan. Jantungku berdetak secara normal, sudah jelas 'kan kalau aku memang tidak mencintainya.

Saat kami sampai di resepsionis klinik ini, banyak sekali yang memandang dan berbisik-bisik akan keburukan yang kami lakukan.

Aku tidak marah, hanya kesal saja. Mereka mengatakan hal buruk tentangnya secara berlebihan. Ini semua adalah kesalahanku, dia korbannya, tapi kenapa malah dia yang dicap buruk oleh orang-orang?

Nomor antrian yang baru saja aku ambil adalah nomor lima. Aku sengaja datang ke sini pagi-pagi sekali agar bisa mendapatkan nomor antrian yang cepat dan bisa untuk ditunggu.

Di klinik ini ada empat orang dokter yang sudah ahli untuk melakukan aborsi ini. Berarti dia akan dipanggil saat gelombang kedua.

Sampai pukul setengah sepuluh pagi, kami baru dipanggil oleh suster untuk masuk ke dalam ruangan. Rasanya berat sekali untuk kami masuk ke dalam ruangan itu.

'𝐒𝐆𝐆' 𝐀𝐦𝐛𝐢𝐭𝐢𝐨𝐮𝐬 𝐆𝐢𝐫𝐥𝐬 [𝐄𝐍𝐃]Where stories live. Discover now