"Kenapa, sih, Tha? Kok, tiba-tiba ngakak?" Melisa menatap ngeri kepadaku.

"Enggak, enggak. Enggak apa-apa. Udah, ah. Aku mau ke bangkuku." Sambil mengibas-ngibas tangan tak jelas, aku berlalu dari kerumunan menuju meja di pojok utara. Masih sambil menertawakan apa yang terpikir tadi.

Astaga, Talitha! Stop menghalu terlalu tinggi!

***

Begitu jam istirahat datang, aku langsung ke Mading, mengabaikan ajakan Nuri dan yang lain untuk mencicipi menu baru di kantin Mbak Yana. Aku ingin mencari tahu siapa penulis puisi itu dan apakah memang ditujukan untuk Talitha aku. Kejadian ini akan mengundang banyak atensi dari seluruh warga sekolah. Jelas aku akan dijadikan bahan gunjingan. Sudah barang tentu, Talitha Saraswati akan menjadi sorotan dan itulah yang paling aku tidak suka.

Setiap karya yang masuk ke majalah terbit harus disetor lebih dulu ke email redaksi Mading. Setidaknya, nama pengirim dari karya itu akan bisa diketahui dari riwayat pesan yang diterima.

"Ciye, Talitha. Punya secret admirer, nih, ya?" Kak Reksa yang memang selalu ada di ruang Mading setiap jam istirahat, mulai menggodaku.

"Diem, deh, Kak. Jangan mancing keributan!" Tatapanku menggalak ke arahnya sebelum fokus mengecek satu per satu email masuk sejak sebulan belakangan.

"Bentar lagi, kepopuleran Talitha bakal mengejar Lusiana." Kak Reksa masih berseloroh.

Aku tak peduli. Aku harus menemukan pelaku yang sudah menjadikanku bulan-bulanan. Seenaknya menjadi admirer cewek yang biasa-biasa saja.

Sayangnya, pencarianku sia-sia. Tidak ada satu pun pengirim email yang mengirimkan naskah puisi tersebut.

Siapa? Siapa yang melakukannya? Jika tidak ada di email, lalu bagaimana bisa puisi itu nyantol di majalah terbit?

Kalau memang tidak ada ada, kemungkinannya pesan tersebut sudah lebih dulu dihapus yang artinya, bisa jadi, pelaku puisi tersebut itu adalah orang yang dengan bebas keluar dan masuk ke akun email Mading.

Jadi, penulisnya adalah anak Mading? Masa, sih?

***

Semua rampung pada waktunya. Proyek menulis yang kami agendakan telah selesai, bahkan sebelum ulangan umum semeter ganjil. Dengan begini aku bisa lebih fokus belajar. Pada ulangan tengah semester sebelumnya, nilaiku sudah cukup memuaskan. Memang ada beberapa mata pelajaran yang perlu lebih ditingkatkan, semisal Bahasa Inggris. Sejak dulu pun pelajaran yang satu ini sudah menjadi momok tersendiri untuk Talitha Saraswati.

Menjelang masa berakhirnya kegiatan belajar mengajar pada semester ganjil membuatku lebih sering berada di ruang Mading. Selain mengerjakan proyek menulis, kami juga harus menyiapkan regu turun lapang untuk meliput turnamen bulutangkis sekabupaten yang pelaksanaannya tepat pada minggu pertama libur panjang. Jika aku terpilih untuk turun lapang di turnamen sekarang, artinya aku harus izin satu minggu tidak menjaga toko Mbak Ginuk. Beliau tidak akan keberatan, tetapi aku yang sayang. Sayang karena harus mengikhlaskan gaji penuh satu minggu yang bisa kupakai untuk membeli dua sampai tiga buku bacaan baru.

Ah, iya. Selama beberapa minggu ini aku tidak pulang diantar Raga. Cowok itu sibuk latihan karena terpilih sebagai perwakilan tim bulutangkis sekolah. Bahkan masuk ke tim inti sebagai pengisi Man Single. Tidak heran, sih. Beberapa kali aku melihat dia latihan, jelas cowok itu mumpuni untuk ikut turnamen. Kepekaannya dalam menghadapi shuttle cock benar-benar keren. Semoga saja dia bisa naik podium tertinggi di turnamen kali ini.

Jangan tanya soal bagaimana hubungan kami. Tidak ada yang berubah. Cowok itu selalu irit berbincang denganku jika di kelas. Tidak pernah pula menegaskan tentang hubungan macam apa yang kami bangun.

Ada yang Memang Sulit DilupakanWhere stories live. Discover now