Momen Kesembilan

Mulai dari awal
                                    

"Ya, siapa tahu, 'kan." Akmal terbahak. Memang anak satu ini. Tidak bisa melihat yang lugu-lugu. Sikat terus!

Belum juga aku menjawab, bel masuk berbunyi.

"Pokoknya, kamu harus ikut! Enggak boleh enggak!" Begitu kecam Nuri sebelum kembali ke bangkunya.

Aku menghela napas. Masa mau izin lagi, sih, Tha?

***

"Raga, kita tunggu di gerbang, ya! Jangan lupa, seret tuh partner-mu!"

Aku mengernyit atas teriakan Nuri.

"Pokoknya, anak X-5 mau ke sana semua. Satu ke sana, semua ke sana. Oke, Tha?" Akmal melirikku. Antara memperingatkan dan menyindir.

Kelas hampir kosong, menyisakan aku dan Raga yang menyelesaikan piket. Ya, kami mendapat jadwal piket pada hari yang sama. Sebenarnya, yang tinggal menyelesaikan adalah aku. Jadi, bagianku setiap piket adalah mengepel. Puncak dari segala rangkaian bersih-bersih. Sementara Raga masih di sini ... entah juga kenapa. Padahal, bagiannya sudah selesai.

"Aku bantu biar cepet selesai. Kamu pel bagian utara, aku bagian selatan."

Aku agak terlongo saat cowok itu dengan luwesnya menggerakkan pengepel. Belum lagi, tampilannya yang menggulung sebagian lengan kemeja hingga ke siku. Kok, keren, ya?

Aku mengembus napas frustrasi. Kapan Raga tidak terlihat keren di mataku? Sejujurnya, dia selalu keren.

"Ngepel, loh, Tha. Bukannya malah bengong. Nanti enggak selesai-selesai."

Aku tergagap. Langsung gaspol mengepel bagian yang sudah ditentukan Raga.

Pekerjaan lebih cepat selesai jika dikerjakan dua orang. Biasanya, aku menghabiskan 20 menit untuk mengepel ruangan satu kelas. Berkat bantuan Raga, hanya 10 menit kami selesaikan.

Setelah membersihkan alat-alat pel, kami mengunci kelas. Di sekolah ini, setiap kelas diberi kebebasan untuk memegang kunci cadangan. Jadi, kalau-kalau pemegang kunci dari sekolah tidak masuk, kami masih punya kunci agar kelas bisa terbuka.

"Aku tadi SMS ke Mbak Ginuk buat minta izin kalau kamu enggak bisa jaga toko hari ini."

Langkahku terhenti seketika begitu mendengar penuturannya. Sejak kapan Raga dekat dengan Mbak Ginuk sampai bisa punya nomor beliau?

Kami berdiri di hadapan ruang Mading dengan posisi aku sedikit di belakang Raga. Sekolah masih cukup ramai dengan lalu lalang murid yang ekskul. Di lapangan upacara, tampak anggota Paskibra sedang berlatih PBB.

"Kenapa, Tha?" Raga berbalik menghadapku.

Kenapa, Ga? Kenapa kamu selalu bersikap manis begini ke aku?

"Padahal aku bisa izin sendiri ke Mbak Ginuk," gumamku entah dia mendengarnya atau tidak.

"Kamu akan berpikir berulang kali untuk izin sendiri ke Mbak Ginuk."

Bahkan, cowok ini bisa tahu bagaiman cara berpikirku. Tuhan, jangan giring aku untuk memikirkannya. Aku tidak ingin berpikir kalau aku ....

"Ayo! Teman-teman udah pada nunggu!" ajaknya setelah kami terdiam beberapa menit.

Ya, sudahlah. Mau bagaimana lagi? Kalau semisal tidak ikut, anak satu kelas bisa mengomeliku karena tidak setia kawan. Padahal, kemarin-kemarin saat aku butuh mereka untuk menemani latihan, ke mana semua? Giliran urusan begini saja kompak sekali.

Dari luar, sudah tampak keramaian acara. Belasan pedagang memenuhi lapangan basket yang memang dijadikan arena bazar. Bukan cuma dari pedagang luar, semua kelas, dari kelas VII sampai IX, mereka menggelar beragam stand. Dari makanan, minuman, pakaian, sampai aksesori-aksesori yang lucu dan menggemaskan. Lapak buku-buku bekas pun ada. Sepertinya, setelah menonton Unlimited Band, aku akan menengok lapak buku bekas, deh. Siapa tahu ada buku bagus di sana.

Ada yang Memang Sulit DilupakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang