Chapter 31

1.7K 267 5
                                    

"Bukankah kau sebaiknya kembali dan beristirahat, pasti waktumu terbuang karena menungguku tadi siang." dengan perlahan Viori duduk sedikit menjauh dan memberi Lucius jarak agar ia bisa membereskan dirinya dan berdiri pergi.

"Aku tidak merasa sedikitpun dari waktuku terbuang." Kata-kata yang meluncur dan mulut Lucius sedikit digumamkan tidak jelas, tapi posisi Viori cukup dekatunutk mendengar kalimatnya secara utuh. Lonceng kecil yang ditaruh di nampan tepat disebelah mangkuk sup Viori dibunyikan oleh Lucius, tak sampai beberapa detik masuklah koki istana yang ternyata daritadi menunggui didepan pintu. Ia membereskan bekas makanan Viori secepat kilat sambil sering-sering mencuri pandang ke arah Viori, sepertinya mengharapkan pujian. 

Dengan senyum tipis Viori mengabulkan permintaan koki tersebut yang terus-menerus memancarkan mata penuh harap supaya masakannya dipuji, "Sup itu sangat enak, hebat sekali kau bisa membuatnya dalam waktu singkat." Koki tua dengan kumis beruban itu menyungingkan senyum cerah sampai gigi-giginya kelihatan, pipinya yang naik seolah-olah membuat kumisnya ikut tersenyum. 

"Memang seharusnya begitu standar koki yang bekerja di istanaku." Walaupun sepertinya Lucius juga ikut membanggakan kokinya, tapi nada bicaranya yang datar justru terdengar seperti 'kau hanya melakukan yang sepantasnya, kalau seperti itu saja tidak bisa berarti kau tidak becus dan patut dipecat'. Koki tua itu mulai mundur sambil menarik kereta dorong yang berisikan piring dan tudung saji yang dibawanya. Menyadari reaksi koki, Viori menarik ujung kemeja Lucius hendak memberi tanda. Saat Lucius sudah menengok, Viori menaruh kedua jari telunjuknya di ujung-ujung bibirnya sambil tersenyum, bermaksud untuk menyuruh Lucius tersenyum jika ia bermaksud memberi pujian. 

"...kerja bagus, memang masakan koki istanaku yang terbaik." ujung-ujung bibir Lucius naik sedikit, walaupun matanya tidak ikut tersenyum tapi setidaknya itu cukup membuat koki tua itu kembali menyunggingkan senyum lebar sambil memelintir kumisnya yang hampir putih semua. 

Lucius menaikan kedua alisnya seolah berkata, "Puas?" kepada Viori, dan Viori membalasnya dengan mengacungkan dua jempolnya ke atas. Tawa kecil justru lepas dan membuat bahu Lucius sedikit bergetar, ia tidak pernah melihat siapapun mengacungkan jari jempol setelah ia menuruti keinginan mereka. Ia merasa seperti anak kecil yang sedang mengikuti pelajaran tata krama dan baru saja melewati salah satu ujian kecil yang dibuat oleh gurunya. 

Dengan ujung kanan bibirnya yang masih naik menahan tawa, Lucius mengambil sarung tangan dan jasnya, mengenakannya seadanya lalu berjalan ke arah pintu kamar Viori. 

Viori reflek berdiri, "Selamat beristirahat, Lucius."

"Selamat beristirahat, aku harap kau tidur dengan nyenyak." Lucius berjalan keluar setelah Sieghart membukakan pintunya tanpa menoleh kebelakang. 

Walaupun Viori mengucapkan selamat beristirahat untuk Lucius, bukan berarti aktivitasnya hari itu telah usai, waktu istirahat untuk Lucius masihlah sangat jauh. Sesampainya di ruang kerjanya, ia melepas kembali sarung tangan dan jasnya, melemparnya ke arah sofa sembarangan dan kembali terduduk di kursi kulitnya. Ia menyandarkan punggungnya, untuk sesaat ia kembali mengingat Viori yang mengacungkan jari jempol padanya. Seolah menyemangati, Lucius kembali membaca dokumen sambil tertawa. 

"Duke pasti sudah gila, saking lelahnya sampai gila." Reinhard berucap sesuka hati, toh ia berada jauh di ujung ruangan, walaupun besar kemungkinan Lucius bisa mendengarnya, entah kenapa kali itu ia yakin Lucius terlalu sibuk tersenyum untuk memperhatikannya. 

----

Pintu ruang kerja Lucius yang biasanya terkunci di pagi hari, kala itu sudah terbuka -atau memang belum terkunci sejak malam. Viori aslinya berniat untuk meninggalkan cemilan di meja kerja Lucius, sekedar berterima kasih atas waktunya yang menunggui kepulangan Viori dengan penuh khawatir kemarin sore. Tapi yang dilihatnya bukanlah ruang kerja Lucius yang biasanya penuh tapi rapih, hari itu banyak sekali dokumen yang bertumpuk menjulang tinggi tidak beraturan. Saat hendak menaruh kotak cemilan di meja tamu, Viori malah kaget karena melihat Lucius yang sedang tertidur di sofa. 

Sinar matahari pagi itu lembut dan bewarna sedikit keemasan, menyilaukan rambut hitam pekat Lucius seperti batu obsidian. 'Kalau saja kau tidak bertindak seperti maniak di webtoon, aku pasti akan mudah percaya denganmu.' pikir Viori sambil terus memandangi wajah Lucius. Fitur wajah Lucius memang terlihat seperti ukiran seniman bangsawan, warna kulitnya jernih seolah-olah tidak pernah tersengat sinar matahari, dan rambutnya terlihat sangat halus bahkan mengila. Bahkan dalam posisi tidurpun Lucius terlihat sangat sempurna dan tidak memiliki kekurangan, bibirnya sedikit pucat mungkin karena kurang ti-, "Pagi."

Viori tersentak mundur kebelakang karena objek pujaannya tiba-tiba bergerak dan bersuara. Seolah bereaksi terhadap patung yang tiba-tiba bicara, mata Viori membelalak dan tubuhnya kaku. "Se-selamat pagi." Viori menggelengkan kepalanya beberapa kali seolah memastikan bahwa ia tidak salah dengar dan Lucius memang bangun dari tidurnya serapih dan sekalem itu. 

'Bagaimana bisa kau bangun tidur tanpa menguap? Tanpa punya bedhair? Tanpa kotoran di mata atau mulut yang terasa kering? Bagaimana bisa kau bangun tidur seindah itu?' mulut Viori reflek menganga seolah-olah hampir saja ia mengucapkan berbagai pertanyaan itu langsung ke Lucius. 

"Sedang apa kau disini?" Lucius terduduk dengan kemejanya yang sudah kusut, lengan kemejanya dilipat tidak karuan supaya tidak menghalangi. Walaupun rambutnya turun dan tidak serapih biasanya, tapi itu justru membuatnya terlihat lebih muda dari biasanya. Ia bertopang dagu ke sofa dengan tangan kanannya dengan matanya yang sedikit menutup. 

"Aku pikir aku bisa memberikan sekotak cemilan sebelum kau datang ke ruang kerja hari ini." Viori mengangkat kotak kaleng berisikan biskuit yang dibuatnya pagi tadi.

"Cemilan apa?" sepertinya Lucius masih setengah sadar, suaranya sedikit parau dan pandangannya masih belum sepenuhnya jelas.

"Biskuit bunga ceri, aku melihatnya bermekaran kemarin malam, lalu aku meminta Sieghart untuk memetiknya subuh tadi."

Lucius tersenyum kecil sepertinya hendak memberikan jawaban, tetapi reaksinya tiba-tiba berubah. "Bunga ceri sudah mekar!?" matanya tiba-tiba membelalak dan ia terbangun seutuhnya.

Viori mengangguk, "Iyah, kenapa memangnya?"

"Si Bajingan, bukan, bukan itu, maksudku pangeran akan datang."

"Pangeran?"

"Pangeran kerajaan tetangga, Mikhail!" Lucius terlonjak dari sofa dan terlihat linglung melihat kesana kemari.

"Mikhail!?" Viori justru lebih kaget daripada Lucius, entah apa yang memberikan alasan untuk Mikhail berkunjung ke Istana Altair. 'Apakah itu urusan diplomatik? Bisnis antar negara? Atau Mikhail mengunjungi Lucius secara pribadi?'

"Mikhail. Ya. Mikhail. Aku... aku mengundangnya kemari."

"Kau mengundangnya kemari?" Viori masih tidak bisa mengikuti jejak pikiran dan maksud Lucius.

"Aku bilang alasannya untuk mengunjungimu yang sudah sembuh, tapi sebenarnya aku jengkel karena ia terus menerus mengirimu hadiah." Lucius sepertinya tiba-tiba menjadi jujur saat sedang linglung. "Reinhard!" panggilan Lucius tiba-tiba mengagetkan dan membangunkan Reinhard yang ternyata sedari tadi terkubur dibawah setumpukan dokumen di sofa samping. 

"Ya, Duke!" Reinhard menengok ke kanan dan kiri seperti mencari keberadaan suara yang membangkitkannya dari tidur. Kantong matanya makin menggelap dan suaranya serak. 

"Kita melupakan kunjungan pangeran Istana Vennia, Mikhail!" 

Dengan satu komando Reinhard sudah terbangun sepenuhnya dan bergegas keluar untuk meminta koki menyiapkan jamuan.

Lucius juga bergegas merapikan dokumen-dokumen yang terjatuh dan hendak keluar dari ruang kerjanya, tapi Viori mencegatnya. "Aku rasa tidak baik untuk jantung para dayang jika kau keluar dengan keadaan seperti itu." Pandangan Viori menunjuk ke arah kerah kemejanya yang terbuka, dua kancing atasnya dilepas.

Lucius menengok kebawah dan tangannya terburu-buru berusaha menutup kembali kancing kemejanya, tapi sepertinya pandangannya masih buram sehingga setelah beberapa detik kancing tersebut masih terpisah.

"Biar aku saja." Viori merasa bukan waktu yang tepat untuk hanya menonton dan membiarkan Lucius bersusah payah. Lucius mengalihkan pandangannya ke ujung ruangan, dan walaupun pelan Viori bisa mendengar suara Lucius menelan ludah. "Terima kasih." Lucius mengelak dari tatapan mata Viori dan bergegas keluar mengikuti jejak Reinhard yang hampir memudar.


I Need to Escape from The Duke!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang