Chapter 25

2.4K 420 4
                                    

Hi semuanya! Maaf banget aku ilang sebulan belakangan ini :( aku sempet kena dbd dah harus bedrest 2 minggu, habis itu aku sibuk ngejer tugas akhir kuliah dan baru sempet update lagi sekarang, sebagai gantinya aku akan update 1 chapter perhari sampe chapter 32! Selamat menikmati, dan makasih banyak atas dukungan kalian yang bikin aku semangat!

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pandangan Viori masih samar-samar seperti kaca yang berembun, tapi sosok Lucius dengan rambut hitamnya bisa terlihat jelas saking dekatnya ia duduk disebelah Viori.

"Lu... lucius?" Seluruh otot tubuh Viori terasa lemas termasuk otok mulutnya.

"Ya, Viori bisakah kau mendengarku?" Bayangan rambut Lucius makin mendekat ke arah Viori.

"Iya..." tangan Lucius menggapai tangan Viori yang sedikit bergerak.

Dinginnya suhu tubuh dari tangan Lucius terasa perlahan membangunkan Viori sedikit demi sedikit. Ujung-ujung jarinya mulai terasa bisa bergerak lagi.

"Be-berapa hari?" Mata Viori masih tidak bisa fokus dan lebih sering menutup.

"Maksudmu?"

"Saya rasa maksud Duchess sudah berapa hari ia tidak sadarkan diri." Rena yang berdiri di sebelah Lucius sedikit menunduk supaya ia bisa berbisik pelan.

"Ah... 20 hari, kau tidak sadarkan diri selama 20 hari. Apakah masih ada yang terasa sakit?" Lucius memberikan aba-aba untuk tabib agar mendekat.

Ia lalu dengan perlahan menyentuh tangan Viori dan mengecek denyut nadinya. Walaupun lemah, setidaknya Viori tidak lagi berada dalam kondisi berbahaya.

"Saya rasa Duchess hanya butuh memulihkan tenaganya saja, sirkulasi mana nya sudah kembali normal." Tabib itu membuka kotak obat yang dibawanya dan mengambil beberapa botol yang diserahkan kepada Rena.

"Konsumsi ini untuk membantu pemulihan anda, Duchess. Saya undur diri terlebih dahulu, Duke." tabib itu juga terlihat kelelahan dan ingin bergegas pulang, sepertinya ia sudah muak dengan pertanyaan bertubi-tubi Lucius mengenai kondisi Viori.

"Apa kau mau makan sesuatu? Atau mau kubuatkan teh?" Lucius duduk disamping ranjang Viori.

Viori tidak bisa menjawab pertanyaan Lucius dan justru malah sibuk memikirkan bahwa Lucius baru saja menawarinya teh yang akan dibuatkannya 'sendiri'. 'Sejak kapan ia pernah menyentuh peralatan dapur? Bukankah ia hanya tahu pena dan pedang?' Viori hampir saja kalah dengan kantuknya ketika ia mendengar suara pintu kamarnya terbuka.

Viori mengerahkan seluruh tenaganya yang tersisa untuk menaikan kepalanya hendak melihat siapa lagi yang masuk mengunjunginya.

"Permisi Duke, maaf menganggu, saya masuk karena saya khawatir dengan efek samping ramuan tersebut." pemilik suara tersebut adalah Sieghart, yang dengan pelahan berusaha mendekat dengan langkah hampir berjinjit berusaha supaya sabuk pedang dan baju ksatrianya tidak bersuara. 

Mata Viori sayu-sayu mengikuti gerak Sieghart yang makin mendekat. Viori menatap Lucius seolah meminta penjelasan, ia tidak mengerti kenapa Sieghart yang seorang ksatria malah khawatir dengan efek samping obat yang dikonsumsinya.

"Sieghart adalah orang yang memberikan ramuan obat yang menstabilkan mana-mu."

Entah kenapa reflek pertama yang Viori lakukan saat mendengar hal itu adalah untuk mengenggam lengan Sieghart yang berdiri sangat dekat sambil berkata, "Terimakasih." Ucapan Viori lemah dan hampir tidak terdengar, tetapi Lucius dan Sieghart bisa mendengar jelas saking mereka sangat memperhatikan gerak bibir Viori.

Sieghart lalu membungkuk dan undur diri. Didepan pintu kamar Viori, Sieghart berdiri tegap seperti biasanya, tapi tangan yang digenggam Viori terasa hangat. Padahal ia mengenakan sarung tangan kulit, tetapi genggamannya terasa berbekas. Rasa bersalah karena sempat mensyukuri sakitnya Viori bercampur dengan rasa bersalah karena membohongi Mathilda untuk mendapatkan ramuan ini. 'Membiarkan Viori sakit membuatku tidak nyaman, tapi membantu kesembuhannya dengan bantuan Mathilda juga membuatku risau.'

Sieghart hanya bisa berharap Mathilda tidak mencari tahu ramuannya dan menemukan fakta bahwa ramuan itu bukanlah untuk Lucius melainkan untuk Viori, orang yang ia harapkan mati secepat mungkin. 

Didalam kamar Lucius masih dengan hati-hati membantu Viori kembali merebahkan tubuhnya yang terasa makin ringan , Lucius bahkan bisa merasakan tulang punggung Viori menyentuh tangannya. 'Tubuh lemah dan kering seperti ini hanya pernah kutemui saat perang, bukan korban perang secara langsung melainkan para ibu dan anak-anak yang tertimpa kelaparan karena perang yang berkepanjangan.'

Lucius membuat catatan dalam otaknya dan menyusun menu makanan untuk Viori yang penuh kalori tetapi mudah dicerna untuk membantunya menaikan berat badan. Lucius rasanya tidak bisa menghilangkan kekhawatirannya walaupun Viori sudah sadarkan diri.

"Istirahatlah, akan kubawakan makan siangmu." Tanpa menunggu reaksi Viori, Lucius sudah berdiri dan memanggil dayang-dayang untuk membawakan makanan Viori, dan Lucius sendiri yang mengantarnya ke kasur Viori.

Lagi-lagi yang bisa dipikirkan oleh Viori adalah bagaimana Lucius yang kasar dan dingin  bisa tiba-tiba bertindak seperti perawat yang dengan lembut membantu bahkan urusan-urusan sekecil mengambilkan Viori minum dan membawakan piring makanan.

Makanan hari itu adalah semangkuk sup krim kentang dan jamur, uap panas yang terus-terusan naik ke atas menandakan makanan itu baru saja matang dan langsung disajikan. Viori perlahan mengerahkan tangannya untuk mengambil sendok, tapi Lucius mengambilnya terlebih dahulu tanpa banyak bicara. Sambil menandahkan tangan kirinya dibawah dagu, ia meniup sup itu perlahan sampai uap panasnya tidak muncul lagi, lalu dengan hati-hati mendekatkannya ke bibir Viori.

Bibir kering Viori menangkap perhatian Lucius, 'Seharusnya aku juga memperhatikan kondisi kulitnya saat ia sakit.' Walaupun sepertinya itu bukan salah Lucius, Viori terbaring tanpa mengkonsumsi cairan selama 20 hari, sudah pasti keadaan kulitnya akan memburuk. 

Rahang Viori terasa kaku dan hampir keram, membuka mulutnya untuk bicara sudah terasa kaku tapi saat ia harus membukanya untuk makan, ia baru benar-benar merasakan ketegangan rahang bawahnya. 'Karena Lucius yang menyuapiku, aku sampai tidak bisa merasakan rasa masakannya karena tidak fokus.' Beberapa suapan pertama dilewati Viori sambil setengah fokus karena ia terus-terusan memikirkan tingkah Lucius. 

Mereke melewati keadaan itu dalam diam, tapi anehnya keheningan itu tidak terasa aneh atau tidak nyaman. Para pelayan yang bersiap di dekat pintu juga sama-sama dengan hening menyaksikan Lucius dan Viori bagaikan sebuah lukisan dalam buku cerita anak-anak. Lukisan yang biasanya ditaruh di halaman terakhir, disebelah tulisan "Lalu mereka hidup bahagia untuk selama-lamanya."

Mangkuk sup itu diangkat Lucius, ia menyendok sup itu habis sampai bersih tidak tersisa. Ia lalu memberi aba-aba untuk para pelayan menangkat peralatan makan Viori dan membawakan satu basin kecil air dan lap untuk membasuh Viori. 

Lucius melepas sarung tangan satinnya, menaruhnya di meja samping dan menyelupkan jari manisnya kedalam air untuk mengetes suhu air itu. Lucius menyeka bibir dan pipi Viori seolah membersihkan vas kaca rapuh yang akan pecah dengan sedikit goncangan, ia bahkan takut untuk menekan kain itu dengan sedikit tenaga. 

Air itu hangat dan beraroma melati, aroma kesukaan Viori. Tanpa sadar Viori menutup matanya sedikit karena ia mulai mengantuk. Tanpa sadar ia membiarkan pipinya menyandar ke tangan Lucius, lalu jatuhlah Viori ke alam bawah sadar. 

I Need to Escape from The Duke!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang