Bonus Chapter: 3.Mendisiplinkan

22.3K 1.9K 71
                                    

Halo bestieee, aku kembali lagi dengan bonchap Teman Hidup, maaf kalo part ini pendek. Jangan lupa tinggalkan komentar dan juga vote kalau kalian menyukai cerita ini ya.


❤Selamat Membaca ❤


Pagi itu, di kediaman keluarga Mahesa sudah terdengar teriakan dari bocah umur 3 tahun yang kini sedang berlarian mengitari sofa ruang tengah. Anak itu tertawa sembari membawa boneka kelinci, dibelakangnya ada sang Papa yang berperan sebagai serigala untuk menangkap Jendral.

"AAAAAA jangaaan!!!" Ia mencoba menghindari Esa dengan berlari menaiki sofa.

Esa sebenarnya tak benar-benar mengejar putranya, ia hanya berpura-pura lari dan membiarkan Jendral lolos begitu saja. Saat akan melompat dari satu sofa ke sofa yang lain Jendral kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Melihat hal itu Esa tentu saja terkejut, ia lantas menghampiri putranya untuk memastikan keadaan Jendral.

"Are you okay, baby?" Ia menggendong Jenjen dan menatap bocah itu yang masih terdiam.

"Sakit ya? Mana yang sakit, bilang sama Papa," Jenjen menggelengkan kepalanya sebagai penolakan, sangat berbeda dengan raut wajahnya yang terlihat begitu sedih dengan mata berkaca-kaca.

"Mana yang sakit, nak? Kakinya?" lanjutnya lagi sembari memegang kaki putranya.

"Kata onty, kalo cowok nda boleh nangis," suara Jendral terdengar agak bergetar, sangat ketara bahwa bocah itu menahan tangisannya.

Kalimat tadi jelas membuat Esa cukup terkejut, namun ia tak berkomentar banyak dan lebih memilih membawa Jendral ke dapur untuk mengambil P3K guna mengobati luka bocah itu.

Esa menurunkan putranya di meja, membiarkan Jendral duduk di sana, kemudian memegang kedua lengan putranya dan mulai menatap Jendral dengan senyuman cerah.

"Kata siapa kalo cowo ga boleh nangis? Boleh kok. Semua orang boleh nangis, dan itu gapapa. Papa juga pernah nangis, buna juga, jadi kalau Jenjen sedih atau sakit, Jenjen boleh nangis, jangan ditahan. Itu kan perasaan alami yang datang dari hati. Nangis itu bukan berarti Aa lemah, bukan berarti Aa cengeng. Tangisan sebenernya sama aja kayak ketawa, marah, atau bahagia, semuanya sama-sama perasaan, semua itu hal yang wajar, nak," Esa menjelaskan dengan suara lembut, mencoba memberikan pengertian kepada putranya.

Walaupun selama ini Esa dan Nayata selalu mencoba memberikan pengetahuan serta pendidikan yang terbaik, namun ada kalanya ada beberapa hal yang masuk dari luar seperti kalimat dari orang lain yang didengar oleh putra mereka. Esa tentu tak bisa mengendalikan perkataan orang lain, jadi yang ia bisa lakukan adalah menjelaskan pemahaman keliru tadi.

Setelah mendapatkan penjelasan, tak lama kemudian Jenjen menangis tanpa suara, ia segera memeluk Esa sembari menyembunyikan wajahnya.

"Kaki Aa sakit, Papa. Sakit sekali," Adunya disela isak tangis.

"Papa obatin, ya? supaya lukanya bisa cepet sembuh."

Anggukan dari Jendral menjadi izin untuk Esa bisa mengecek luka putranya. Ia dengan telaten membersihkan luka tadi kemudian memberikan obat lalu menutupnya dengan plester luka. Untung saja luka Jenjen tak terlalu besar, jadi masih bisa ditutup plester.

"Selesai," Esa mencium pipi putranya berulang kali.

"Thank you, Papa," Jendral tersenyum sembari mengusap air matanya yang mulai mengering.

"Sama-sama sayangku. Sekarang kita nonton aja gimana?" tawarnya sebagai pengganti permainan kejar-kejaran tadi.

"Mau nonton ikan paus!"

TEMAN HIDUP | NOMINWhere stories live. Discover now