"Menerima takdir? Butuh waktu berapa lama lagi emangnya? Apa delapan belas tahun itu masih gak cukup?" tanya Liora beruntun.

"Sebenarnya cukup. Hanya merekanya aja yang enggan."

👑

"GILA YA, LO?!"

"Sorry kalau gue telat minta maafnya."

"Ayolah Ra, bisa gak sih lo itu berpikir dewasa sedikit aja? Capek gue tuh sama kelakuan lo yang kayak gini," kesalnya.

"Gue udah bilang, sorry, Aina ...."

Aina Miccle Garaga inilah dia. Si gadis dengan segudang prestasi dan si juara bertahan di peringkat pertama.

"Gue gak butuh maaf dari elo, Ra. Gue butuhnya lo pulang ke rumah, sekarang!"

Mereka tengah berbicara melalui sambungan telepon. Aina dan Aira memang jarang sekali terlihat akur.

"Gue gak bisa pulang sekarang," balas Aira.

"Why?" Aina semakin kesal dengan adiknya itu. Aira benar-benar menguji kesabarannya. "Lo dibayar sama Liora? Berapa? Balik, nanti gue ganti!"

Aira berdecak. Ia tidak bisa memberitahukan yang sebenarnya pada sang Kakak karena sudah berjanji pada Liora untuk tidak memberitahu siapapun termasuk Aina.

Sementara itu Aina meletakkan ponselnya di atas meja belajar lalu dia meraih buku paket mata pelajaran matematika. Loudspeaker dia nyalakan.

Di sana Aira bulak-balik melirik pintu kamar mandi yang masih setia tertutup rapat.

"Besok pagi-pagi gue pulang. Gue bakal jelasin semuanya." Percayalah pada kalimat terakhir, Aira mengucapkannya sangat pelan.

"Sorry, Li, Ai ...."

👑

Sebuah tamparan mendarat keras di pipi mulusnya. Bertepatan dengan itu juga pipinya yang terasa perih pun membasah karena lelehan air mata yang terus berjatuhan.

Matanya yang sipit terlihat tengah terpejam saat ini. Rasanya begitu sesak walaupun ini bukan pertama kalinya.

"Dasar anak bodoh!" maki sang ayah.

"Ma—maaf ...."

Si ayah menendang sebuah guci dekat nakas hingga membuat guci itu terpecah belah. Dadanya naik turun lantaran emosinya yang memuncak.

"Kenapa kamu tidak pernah membuatku bangga, hah?! Peringkat dua itu peringkat yang rendah, Dizcha. Kapan peringkatmu naik, hm? Coba contoh kakakmu, dia selalu membuatku bangga. Tidak sepertimu, beban!" bentaknya.

Dizcha sudah terduduk di lantai berwarna putih yang dingin. Tangisnya masih belum berhenti.

" qīn, Dizcha mohon ampun."

"Ampun katamu? Apa hanya dengan ampun peringkatmu bisa naik? Tidak akan! Cepat pergi ke kamarmu dan bacalah bukumu. Jangan berani-berani untuk tidur, sampai pagi sekalipun," perintah si ayah dengan tegas.

Dizcha menurut. Menaiki anak tangga satu persatu dengan perasaannya yang campur aduk. Tak bisa dipungkiri dia sedikit merasa sakit hati.

Di kamarnya sudah ada sang kakak yang tengah duduk selonjoran di tempat tidur miliknya dengan buku kimia yang tengah dibacanya.

'𝐒𝐆𝐆' 𝐀𝐦𝐛𝐢𝐭𝐢𝐨𝐮𝐬 𝐆𝐢𝐫𝐥𝐬 [𝐄𝐍𝐃]Where stories live. Discover now