33

9 3 0
                                    

Pagi ini di rumah mewah itu terdengar suara perdebatan di antara pasangan yang akan segera menjadi suami istri. Keduanya berdebat hanya karena masalah kamar bayi. Neia ingin kamar bayi keduanya diletakan di samping kamar mereka, sementara Alarda menginginkan kamar bayi di ruangan depan kamar mereka.

"Aku gak mau tahu, pokoknya kamar anak kita di samping kamar utama!"

Alarda berdecak malas. "Ruangan itu mau aku buat penyimpanan dokumen Nei, lagian ruangannya kecil. Mending di ruangan depan kamar utama"

"Kamu tuh kenapa sih?! Gak bisa ngertiin aku banget!" Neia menghentakkan kakinya ke lantai kesal.

"Kamu juga gak ngertiin aku" balas Alarda.

Neia kembali menghentakkan kakinya "Ih! Ngejawab aja!"

"Aku kan punya mulut"

"Terserah kamu deh!" Neia berbalik memunggungi Alarda dengan kesal. Alarda memberikan sebuah perintah pada pelayannya agar menjadikan ruangan samping kamar utama di jadikan penyimpanan. Kan Neia sudah berkata terserah.

"Kamu tahu kan harus gimana?" Bisik Alarda pada pelayannya.

Sang pelayan mengangguk paham, lalu dengan cepat pergi memanggil pelayan lain untuk membantunya.

"KAKAK! YUHUUUUUU"

Teriakan nyaring itu membuat Alarda terperanjat. Suara adiknya yang menyebalkan.

Alerda muncul kepalanya mengintip di pintu kamar. "Halo kakak" sapa ceria Alerda seperti biasa.

Merasa tidak ada jawaban, lantas Alerda mendekat. "Kak Neia kenapa?" Tanya Alerda ketika melihat Neia terus menghadap ke arah tembok.

"Lagi meluapkan emosi" jawab Alarda asal.

"Ih, orang hamil tuh jangan stres. Kasihan banget sih kak Neia mau nikah sama lo. Bukannya nambah bahagia, malah nambah stres" ucapan Alerda tentu membuat kakaknya memasang wajah siap mengamuk.

"Lo ke sini niat menghina apa gimana?" Nada bicara Alarda meninggi, menandakan dirinya mulai tersulut emosi.

'ini kenapa pada sensi banget sih' - Alerda

"Tenang pak, tenang. Gue ke sini cuma mau kasih tahu kalau Leon sama Kevin udah sadar"

"Beneran?" Neia dengan raut wajah ceria mendekat pada Alerda.

"Iya beneran kak"

"Kita ke sana yuk" Neia menarik tangan Alerda untuk segera berangkat, namun Alerda menahan agar tangannya tidak di tarik.

"Terus kak Ala?" Alerda menatap kakaknya yang terdiam. Neia melirik sekilas pada Alarda.

"Biarin"

"Tutup semua gerbang, amankan semua kunci kendaraan. Jangan ada yang keluar dari rumah ini" ucapan Alarda adalah titah. Para pelayan mengangguk paham, lalu salah satu di antara mereka menghubungi satpam di depan.

"Ala! Apaan sih?! Aku mau jenguk Leon sama Kevin! Lagian ini rumah aku!" Neia kesal kembali menghentakkan kakinya.

Alarda sama sekali tidak merespon, laki-laki itu dalam hening nya berjalan menuju ruang kerjanya. Neia yang melihat itu hanya terdiam. Biasanya jika begini, sosok lain dari dalam diri Alarda sedang mempengaruhi. Sejenak Neia mengutuk dirinya, dia lupa memanggil dokter pribadi untuk mengecek keadaan Alarda sekarang. Bagaimana pun dulu kekasihnya itu punya penyakit depresi.

"Ke bawah dulu aja" ucap Neia pada Alerda. Dia harus mengurus sesuatu.

Dengan cepat Neia berjalan menuju ruang kerja Alarda. Ketika di buka pintunya tidak dikunci. Terlihat Alarda sedang duduk di kursi kerjanya sambil menghirup rokok yang di nyalakan.

"Kamu marah Al?" Neia mencoba bertanya, namun tidak ada respon. Memilih duduk di depan Alarda, tepatnya sebrang meja kerja.

Alarda yang menyadari kehadiran Neia di hadapannya segera mematikan puntung rokoknya. Bagaimana pun dia tidak mau menjadi ayah yang buruk. Anaknya bisa-bisa bengek.

"Kamu katanya mau jenguk dua curut, sana" ucap Alarda santai. Laki-laki itu pembawaannya menjadi lebih bijaksana. Neia curiga, jangan-jangan kejiwaan Alarda sudah membaik.

"Nanti kita panggil dokter ya" ucapan Neia membuat Alarda menoleh. Dokter untuk apa?

Mengerutkan keningnya bingung, " buat apa?"

"Ya buat kamu toh" balas Neia.

"Lah emang aku kenapa?" Tanya kembali Alarda pada Neia.

Neia berdecak malas. Alarda semenjak sifat tempramen dan kejamnya hilang, malah jadi konyol dan menyebalkan. Lebih baik kembalikan Alarda nya yang dulu!

"Cuma ngecek, aku kan pengen tahu" ucap Neia pelan.

Alarda mengetuk jari-jari tangannya di atas meja kerja, lalu menatap Neia. "gak ada, udah aku makan dia semuanya" ucapnya sambil menujuk kepalanya sendiri.

"A-apa?"

••••

"YEEEE, akhirnya Leon udah bangun juga"

Alarda hanya bisa menatap malas interaksi keduanya dengan duduk tenang di sofa ruangan. Sementara Alerda di sisi ruangan lain sedang menyuapi Kevin yang masih terbaring lemah.

"Firasat gua gak enak" gumam Leon.

"Kita taruhan, kepala siapa duluan yang copot" sahut Kevin di samping.

Leon berdecak malas. "Nyaut mulu lo! Lagi sekarat juga"

"Badannya doang bang yang sekarat, jiwa nyinyir nya mah kagak" ucap Alerda.

"Sirik aja lo unta Arab"

"Leon mau makan gak? Nei suapin ya" Neia meletakan ponselnya lalu mengangkat satu mangkuk bubur untuk Leon.

"Udahlah Nei, tangannya masih bisa gerak kali" ucap Alarda namun mata laki-laki itu masih tertuju pada ponsel.

Neia berdecak sebal. "Kok tega banget sih, dia kan lagi sakit!"

"Yaudah, kalau mau di suapin mah tapi tangannya aku cabut dulu dari badannya" Alarda menaruh ponselnya lalu menatap Leon yang juga sedang menatapnya tanpa berkedip.

Dengan perlahan Leon mengambil mangkuk berisi bubur tersebut. "Gapapa Nei, gua makan sendiri aja" ucapnya.

"Loh kok gitu sih?" Heran Neia.

"Tolong kerja samanya Nei, gue belum nikah soalnya"

Tbc.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 22, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ALARDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang