Time Of Our Life : Writing A Dairy

183 37 3
                                    

Hi! 
It's me, Lala! 
Aku mendapatkan kado buku harian ini dari Kak Devi sebagai hadiah pernikahan. Kak Devi tak sempat hadir namun ia sempat menitipkan ini dan sebuah pesan kepada Bang Surya. 

Pesan dari Kak Devi sungguh menohok. Katanya dunia pernikahan akan begitu menyeramkan bilamana mental kedua pasangan tidak kuat. Ketika ada masalah pun haram hukumnya bila kita menceritakan masalah atau bahkan aib rumah tangga kita ke orang lain. Itulah alasan Kak Devi memberikanku buku harian. 

Aku sendiri tak yakin, apakah aku bisa menyimpan semua keluh kesah sendiri? Bahkan ketika memikirkan masalah dalam rumah tangga, wajah Wildan langsung melintas di pikiranku. Wildan adalah orang yang bisa dipercaya mengenai masalahku dengan Davin kelak. 

Akhirnya, aku memutuskan membuat buku ini sebagai catatan kenanganku dengan Davin. Aku harap semua yang kutuliskan kenangan indah semua. 

Mungkin ada saatnya aku memberikan buku ini kepada Davin. Karena ia harus mengetahui betapa aku mencintainya. Karena selama ini aku terlalu kaku menanggapi gombalan atau bentuk cintanya. Jujur saja, bukan aku tidak suka. Aku hanya terlalu salah tingkah yang menyebabkan aku malah terlihat menjadi galak kepadanya. 

Seminggu kemarin, aku dan Davin menghabiskan bulan madu di Jogja. Kenapa Jogja? Karena menurutku Jogja adalah kota yang bersejarah untuk kami berdua. Banyak momen yang kami lalui bersama semasa Kuliah Kerja Lapangan dulu bersama. Dari mulai Davin yang terlihat cemburu ketika aku bertukar pesan di bus bersama Pak Surya, beradu argumen di Malioboro karena aku ingin mencoba bermain ke club, bermaafan di Goa Pindul, hingga menghabiskan waktu berdua di Malioboro. 

Davin sempat protes kenapa aku mengajak Lia dan Wildan untuk ikut ke bulan madu kita. Sejujurnya aku khawatir jika Davin menyetir sendiri ke Jogja. Bagaimana bila ia tertidur ketika menyetir? Akhirnya aku memutuskan untuk mengajak Wildan dan Lia. 

Hal yang pertama ku ingat tentang kenangan kami di Jogja adalah kedatangan mertuaku secara tiba-tiba ke hotel. Jika diingat memang sangat menjengkelkan. Ia mengancamku untuk tidak bersikap kampungan dan menjaga wibawanya. Dan ternyata bulan madu kami diliput oleh seseorang yang kuduga adalah suruhan mertuaku. Ia sedang menaikan citra untuk kepentingan kampanye dengan taglinetagline 'kesederhanaan'. 

Jika ditanya kesal atau tidak? Tentu saja. Bahkan aku kaget mertuaku bisa berbicara setajam itu. Padahal selama proses pernikahan dia tidak seperti itu. Oh, aku baru sadar. Dia selalu diam dan tak mau berkomentar. Mungkinkah ia tidak menyetujui pernikahan aku dan Davin? 

Di depan Davin aku selalu menyemangatinya. Padahal dalam hati, aku merasa sakit. Baru kali ini aku mendapatkan perlakuan seperti itu. Apakah kedepannya semua akan baik-baik saja? 

Di pantai Parang Tritis kami menyaksikan matahari terbenam. Dengan tidak percaya diri, aku bertanya padanya. Kenapa dia memilihku sedangkan dia bisa memilih gadis lain? Dia sedikit marah dengan pertanyaanku. 

Sesuai dengan perkataan orang, aku yang seharusnya merasa beruntung bisa mendapatkan Davin. Tapi setiap hari pria itu selalu meyakini diriku bahwa dirinyalah yang selalu merasa beruntung untuk bisa bersanding bersamaku. Dari situ aku yakin, mungkin memang benar aku tidak memilih orang yang salah. 

Kisah kami memang berawal dari Davin yang selalu ada di sampingku disaat aku sibuk memfokuskan diri pada Bang Surya. Dari situ aku mulai belajar. Ternyata lebih baik dicintai dari pada mencintai untuk aku yang selalu takut dengan sebuah resiko. 

Hingga malam itu tiba. Malam yang selalu membuatku penasaran terjadi di kamar hotel. Aku tak mengira bahwa aku akan ketakutan setengah mati. Belum lagi Davin yang begitu agresif menungguku diluar kamar mandi. 

Menulis hal itu membuatku kembali deg-degan. Sampai sekarang aku bertanya-tanya mengapa malam itu bisa terjadi juga. Semua yang ku tonton mengenai malam pertama pada scene film adalah bullshit! Malam pertama kami dibuka dengan kecanggungan meski pada akhirnya kami benar-benar menikmatinya. 

Sejak malam itu terjadi, Davin sudah tidak malu untuk membuka bajunya dihadapanku. Sedangkan aku masih dengan kebiasaan mengganti pakaian di kamar mandi. Bahkan ketika membuka mata sehabis bangun tidur saja aku selalu kaget dengan kehadiran Davin. 

Esok hari setelah melalui malam itu kami bertemu dengan Wildan dan Lia. Jujur, tanpa mereka bertanyapun aku sudah merasa malu. Mereka pasti sudah tahu apa yang terjadi di malam hari. Tak mungkin kan pasangan berbulan madu malah main monopoli di malam hari? 

Ngomong-ngomong soal Wildan dan Lia, aku sangat mendukung hubungan mereka. Aku menyadari Lia begitu menyukai Lia sejak awal berjumpa. Sedangkan Wildan.. untuk menulisnya saja aku tidak sanggup. Yang pasti aku akan menjadi tim suksesnya begitu ada kesempatan. 

Puncak bulan madu kami adalah malam di Malioboro. Untuk sekedar mengenang masa kuliah dulu, kami mengunjungi tempat yang sama. Dari mulai angkringan hingga membeli beberapa daster. 

Mendadak aku menhingat kejadian dimana Davin dan aku berselisih di tengah jalan. Sewaktu itu garda belakang mengajak kami untuk ikut ke club malam yang ada di sana. Aku yang sewaktu itu penasaran dan diluar pengawasan orang tua berniat untuk ikut. 

Namun Davin mencegahku. Dia begitu tanggungjawab dengan amanah Mama yang menitipkanku padanya. Aku kesal dengan Davin yang begitu mengatur. Sampai akhirnya sekarang aku sadar Davin begitu perhatian sejak dulu. 

Kami juga membeli daster di tempat yang sama seperti dulu. Davin yang sompral mengatakan bahwa salah atu daster cocok untuk aku yang akan terlihat seperti istrinya kelak. Ternyata kesompralan itu benar terjadi. 

Mungkin jika sompral itu mengarah kepada hal yang positif bisa disebut dengan doa, ya? 

Davin sempat cemburu kepada aku dan Wildan. Ia mengomel dengan panjang untuk mengungkapkan kecemburuannya. Dalam hati aku merasa gemas kepada Davin. Pria yang terkenal dingin itu bisa melupakan sifatnya itu begitu cepat jika sedang cemburu. 

Seandainya Davin tahu, ia sebenarnya tak perlu merasa cemburu. Antara aku dan Wildan jelas hanya berteman. Davin mengamuk ketika aku bertanya kepada Wildan mana daster yang cocok untukku. Sebenarnya itu adalah signal kepada Wildan untuk mencarikan daster yang akan disukai Davin bila ku pakai. Aku terlalu gengsi untuk bertanya langsung kepada Davin. 

Hati kecilku merasa terancam dengan keberadaan Wildan. Mungkin saja pria itu akan merebut Davin dari tanganku. Namun keyakinanku lebih besar dari kecurigaan. Wildan adalah orang yang baik dan tak mungkin menyakiti aku. 

Foto ini aku ambil melalui hp ketika kami sedang di Parang Tritis

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Foto ini aku ambil melalui hp ketika kami sedang di Parang Tritis. Dia begitu menggemaskan dan sedikit bahagia. Disebutkan sedikit, karena aku tahu betul Davin masih jengkel dengan kehadiran Lia dan Wildan antara kami. 

Davin, kalau kelak lo baca ini lo harus tagu bahwa gue akan mencoba selalu berada di sisi lo. Nggak usah khawatir dan selalu mengatakan 'sama-sama, ya?' Mungkin lo pikir bahwa sama-sama hanyalah keinginan lo. Nggak, Davin. Gue ingin sampe akhir hayat selalu sama lo. Kalo bisa ketika kita berdua sudah tutup usia, kuburan kita harus bersebelahan. Gue nggak mau jauh-jauh dari lo. 

Makasih Vin lo udaj percayain jabatan istri di hidup lo ke gue. Jobdesk-nya mungkin lebih berat dari sutradara jaman Simulasi Proses Peradilan dulu. Tapi gue yakin gue akan enjoy menjadi istri lo. Semoga ayah lo bisa seneng dengan kehadiran gue seperti lo yang selalu berterimakasih ke mama karena telah lahirin gue ke dunia. 

"A page of our beautiful youth let’s write it together. I wanna fill it up with memories with you. Don’t worry about anything. Trust it all to me. So this moment right now can become a page that we can read back again."
ㅡ Time Of Our Life

The Book Of Us : Lala & Davin Story | DAY6Where stories live. Discover now