23] The Memory of That Day

Start from the beginning
                                    

Serius? Harus sejauh inikah Jihyo bertindak seakan mereka baik-baik saja? Seperti Jungkook dan Jian tak pernah terlibat dalam satu hubungan.

Namun, gadis itu tetap berlalu menuju dapur untuk mengambil piring dan alat makan. Memberi kode pada Jimin untuk segera duduk di sofa. Mencoba keras menghindari kontak mata dengan Jeon Jungkook yang tidak berhenti memberi sorot sendu sarat kerinduan padanya.

Terhitung satu pekan setelah hari itu, hari di mana Jian menyudahi semuanya, tidak ada satu hari pun yang Jungkook lewati untuk mengirim pesan singkat atau menghubunginya. Akan tetapi, Jian sudah bertekad, keputusannya pun telah bulat. Saat ini, kembali pada Jungkook hanya akan menebar racun bagi mereka semua. Dan Jian tak ingin hal itu semakin menjadi-jadi. Ia ingin ketenangan saat ini. Demi bayinya.

Keempatnya duduk bersama di sofa, Jimin dan Jian bersebelahan, sementara Jungkook dan Jihyo bersebelahan. Saling berhadapan. Canggung sekali atmosfer yang terjalin di antara mereka. Belum lagi menyadari bahwa Jungkook tidak berhenti menatapnya, memperhatikan gerak-geriknya penuh pengawasan. Ada raut cemburu yang kentara jelas tiapkali Jian berinteraksi dengan Jimin.

"Ayah dan Ibu mungkin besok akan ke sini," kata Jihyo memecah keheningan. Mereka menikmati jajangmyeon yang Jihyo bawa.

"Ya." Jian menyahut, agak kurang berselera dengan jajangmyeon. Entah kenapa perutnya terasa mual kali ini.

Gadis itu beranjak dari sofa, menuju wastafel di dapur. Tidak tahu kalau Jungkook dan Jimin secara bersamaan ikut berdiri, berniat menghampiri Jian dengan sorot penuh kecemasan. Terlebih Jungkook. Akan tetapi, langkah pemuda Jeon itu tertahan manakala Jihyo menahan tangannya. Membiarkan Jimin yang menyusul Jian, memijat tengkuk leher gadis itu kendati yang keluar hanya air saja dari perutnya.

Jian pucat pasi. Perutnya seperti dikoyak hingga menimbulkan rasa mual luar biasa. Sangat tidak berselera untuk melanjutkan makanannya. Gadis itu malah memilih meneguk air putih hingga tandas nyaris setengahnya.

Memandang Jimin lesu sebelum melarikan sorotnya pada Jungkook yang masih berdiri mematung, cemas pada kondisinya, namun ada Jihyo yang menahan pria itu.

"Aku ingin istirahat. Kalian selesaikan saja makan siangnya."

Jian menukas cuek, mengabaikan kekhawatiran yang disiratkan oleh Jimin. Gadis itu hendak berlalu menuju kamar, satu tangannya sudah berada di gagang pintu tatkala suara Jeon Jungkook terdengar, memecah keheningan sekaligus kecanggungan yang mencekam di sana.

"Bisakah kau berhenti bersikap semuanya baik-baik saja?! Bagaimana jika bayi itu ... anakku? Kau tetap akan meninggalkanku?!"

Putus asa sekali pemuda Jeon itu berseru. Menyentak tangan Jihyo yang masih menahan pergelangan tangannya. Kaki panjangnya melangkah menghampiri Jian, nyaris menarik gadis itu ke dalam dekapannya jika saja Jimin tidak menghadang disusul suara nyaring Jihyo yang melenggar di penjuru sudut ruangan.

"Kenapa tidak kau bunuh saja aku, Jeon Jungkook?! Kenapa kau memperlakukanku seburuk ini, Sialan?!" Jihyo berteriak dengan tangisnya.

Jungkook tidak mampu berkutik seperkian detik setelah mendengar teriakan itu. Disusul oleh tangis rintih Jian dalam dekapan Jimin.

"Berhenti. Aku mohon berhenti, Jeon. Kau dan aku sudah berakhir."

Samar-samar suara Jian terdengar sebelum gadis itu tak sadarkan diri dalam pelukan Jimin, nyaris saja jatuh jika Jimin tidak dengan sigap menangkap tubuh mungilnya.

Jungkook benar-benar tak bisa berbuat apapun selain mematung, kepalanya jatuh tertunduk dengan satu tetes air mata yang perlahan jatuh bergulir di pipi. Putus asa. Terluka. Tidak bisa berhenti untuk tak berharap bisa menggapai Jian dalam rengkuhannya lagi.

AEONIAN [Completed]Where stories live. Discover now