23] The Memory of That Day

561 103 65
                                    

Bab 23

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bab 23

Senyum geli itu tidak bisa menghilang dari sudut bibir Jian saat melihat Jimin kesulitan membawa beberapa kardus berisi barang-barangnya.

Keduanya berada di dalam lift menuju lantai dua belas di mana unit apartemennya berada. Tempat tinggal baru Jian.

Tidak semudah itu memutuskan untuk meninggalkan rumah, tempat Jian menghabiskan nyaris dua puluh tiga tahun hidupnya. Namun, saat keberadaannya tak lagi membuat orang lain nyaman, merupakan keputusan tepat untuk pergi dari sana. Ayah dan ibu toh tidak menahan pilihannya. Mereka menyerahkan segala keputusan di tangan Jian. Atau lebih tepatnya, tidak terlalu peduli pada putri mereka dan masa depan Jian setelah ini? Entahlah. Hanya mereka dan Tuhan yang tahu.

"Kenapa tertawa?" Jimin mencibir seraya memberikan kartu akses apartemennya.

Jian mengulum bibirnya, masih menahan tawa sebab keringat tampak mulai terpampang di kening Jimin. Kebetulan isi kardus-kardus itu memang tumpukan buku dan novel koleksinya. Jelas Jimin keberatan membawa dua kardus sekaligus.

Omong-omong soal kepindahannya ini, Jian dibantu oleh Jimin. Pemuda itu menyewakan apartemen untuknya, memilih unit yang lumayan luas dan dekat dari kampus. Padahal Jian sudah menolak bantuannya, tetapi Jimin tetap bersikeras. Katanya, biarkan ia bertanggung jawab sedikit saja atas kesalahannya. Walaupun pada akhirnya Jian berjanji akan mengganti semua uang Jimin suatu hari ini.

Meletakkan kardus itu di atas pantri dapur, Jimin mengekori langkah Jian menuju kulkas. Ini hari kedua Jian melakukan pindahan, tetapi masih cukup banyak barangnya yang belum terangkut. Terutama pakaiannya yang lumayan banyak serta koleksi buku-bukunya.

"Ji," panggil Jimin seraya menyandarkan diri di pantri dapur. Memperhatikan Jian dari belakang. Gadis itu tengah membuat jus jeruk untuk melepas dahaga.

"Kenapa, Jim?"

"Soal bayi itu ... aku bersedia tanggung jawab."

Jian sontak memutar tubuhnya, menghadap Jimin. Senyum terulas di kedua sudut bibirnya kendati sorot itu tetap memancarkan luka kasat mata yang nyaris tak tersentuh siapapun.

"Aku sudah memutuskan, Jim. Tidak peduli antara kau dan Jungkook, bayi ini mutlak milikku. Aku tidak ingin menjeratmu dalam pernikahan penuh kepalsuan hanya demi sebuah tanggung jawab." Jian menjelaskan dengan iris teduhnya. Gadis itu lalu mendekat, berdiri di hadapan Jimin.

"Kau ... hatimu ini terlalu berharga untuk aku sakiti jika kita memaksa bersama," imbuh gadis itu lagi seraya menunjuk dada Jimin dengan telunjuknya. Kepalanya mendongak, masih menampilkan senyuman.

"Aku tidak ingin melukaimu. Aku hanya ingin ketenangan saat ini."

Tanpa diduga, Jimin lekas menarik Jian ke dalam pelukan hangatnya. Meski tidak sebesar Jungkook, tubuh mungil Jian tetap tampak tenggelam dalam dekapan pemuda itu. Erat sekali. Tangannya tidak berhenti mengusap punggung dan kepala Jian.

AEONIAN [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang