Menenangkan, menghangatkan, sekaligus mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja melalui pelukan itu. Bahwa Jimin akan selalu ada di sana. Berdiri di belakang Jian, dan siap menolong saat gadis itu tak lagi sanggup berdiri sendiri dalam pijakan kakinya. Jimin akan selalu menunggu di sana, untuk Jian.

"Kau gadis hebat, Jian. Kau masih punya aku. Selalu ingat itu, ya?" bisik pria itu lembut, mengecup pucuk kepala Jian berkali-kali tanpa menghentikan usapan tangannya.

Ia bisa merasakan napas hangat Jian di dadanya, serta pelukan tangan gadis itu di pinggangnya. Jian tidak sekuat itu, Jimin tahu. Namun, Jian akan selalu menjadi Jian yang benci dikasihani.

Cukup didukung, cukup ditenangkan, maka Jian bisa bertahan sedikit lebih lama. Ia yakin itu. Demi bayinya. Jian benar, terlepas dari segala ketidakpastian antara dirinya dan Jungkook, keberadaan bayi itu mutlak milik Jian. Biarlah kepastian itu terungkap seiring berjalannya waktu.

Detik ini, yang Jian harus lakukan adalah menyembuhkan luka di hatinya, mulai mencintai dirinya sendiri, dan perlahan-lahan merangkak pada kebahagiaan yang menunggu di ujung sana.

"Terima kasih karena mau memahamiku, Jim. Dan maaf tidak bisa membalas perasaan tulusmu sejak dulu." Jian melepas dekapan, kembali mendongak dengan raut wajah sedihnya. Jimin lantas menggeleng cepat, merengkuh wajah gadis itu, membelainya perlahan.

"Sstt... tidak apa-apa. Perasaanku biarlah menjadi urusanku. Sekarang kau harus fokus pada kehamilanmu. Aku akan selalu ada di sisimu."

"Aku akan menyelesaikan tugas akhir sebelum kehamilanku semakin terlihat," kata Jian sambil tertawa. Tangannya mengelus perlahan permukaan perutnya yang masih tampak rata.

"Kasihan bayiku kalau lahir nanti Mamanya masih pengangguran." Jimin mengerang kesal. Mencubit hidung Jian gemas.

"Kan ada aku," katanya, merajuk. Jian terkekeh kecil. Menggelengkan kepala sebelum kembali memeluk Jimin.

"Tolong peluk aku lagi, Jim."

Dengan senang hati, Jimin merengkuh tubuh mungilnya itu.

"Ji, boleh minta sesuatu?" tanya Jimin tiba-tiba.

Jian membalas dengan gumaman pelan. Selang beberapa detik, hanya keheningan yang menyelimuti keduanya. "Tolong beritahu aku kapanpun kau mulai merasa lelah berlari seorang diri. Mengerti?"

"Dimengerti, Park Jimin."

Keduanya masih asik mendekap, bahkan tidak menyadari jika seseorang baru saja membuka pintu apartemen dan masuk ke dalam.

"Ji, ini aku bantu mengemasi buku-bukumu."

Suara Jihyo. Jian sontak melepaskan diri dari pelukan Jimin. Agak terkejut ketika melihat presensi dua sejoli di hadapan mereka saat ini.

Jungkook membawa dua kardus sementara Jihyo menenteng dua paper bag ukuran besar.

Canggung kini memenuhi ruangan. Jimin lekas membantu Jungkook meletakkan kardus di atas meja pantri. Membiarkan Jian dan Jihyo berlalu duduk di atas sofa.

"Apartemennya nyaman, Ji." Jihyo berucap pelan, memberikan senyum.

Seakan apa-apa yang pernah terjadi di antara mereka berempat tidak pernah ada. Seolah kesalahan-kesalahan yang telah Jian dan Jungkook lakukan, tidak pernah terjadi. Sikapnya bagaikan mereka tidak pernah berada dalam situasi kurang mengenakkan sebelumnya.

"Jimin yang memilih." Jian meyahut.

"Ini aku bawakan makan siang. Ayo makan bersama." Jihyo membuka paper bag berisi makanan itu.

Jian menggigit bibir bawahnya gugup sekaligus canggung. Memandang Jimin dan Jungkook yang berdiri bersebelahan, mematung, tidak tahu harus berbuat apa.

AEONIAN [Completed]Место, где живут истории. Откройте их для себя