30. Perfect Puzzle (Ending)

227 52 18
                                    

"Saya terlambat atas Zaa." Pandangan Hijir menerawang, menatap langit-langit lorong tempatnya duduk dengan lelaki yang disebut Laith sebagai calonnya Zaa.

Laith sendiri tengah ke musala bersama Hikam.

Tak ada ekspresi bermusuhan satu sama lain. Jika Hijir dengan tatapan kosong, lelaki di sampingnya justru santai, merasa tak ada yang perlu dipermasalahkan.

"Sebenarnya kamu tidak terlambat. Maaf untuk mengatakan ini, tapi kamu memang tidak pernah memulai apa pun sejak awal." Nada bicaranya tanpa beban.

Meski begitu, Hijir tertohok tak karuan. Benarkah seperti itu? Apa ... Zaa memang tak pernah memberikan apa pun selain pertemanan?

"Saya tahu bagaimana Zaa. Bisa dikatakan, jika tidak menemukan sesuatu yang menarik dari diri seorang lelaki sejak awal bertemu, Zaa tidak akan bisa tertarik ke depannya," lanjut lelaki itu.

Hijir memejamkan mata sebentar, menahan gejolak tak karuan yang menyiksa.

"Pertanyaan itu ... apa kamu pernah berpikir bahwa itu hanya akal-akalan Zaa?"

Membisu. Hijir mulai mengingat pertanyaan yang dilontarkan Zaa padanya. Jujur, ia juga berpikir demikian.

"Jauza adalah perempuan cerdik, Hijir. Kamu bisa juga menyebutnya licik jika mau. Dia tidak mungkin mau memposisikan diri pada tempat yang tidak diinginkannya. Seperti yang saya bilang, dia menggunakan wawasan dan kemampuannya mengolah kata untuk terjun dalam pergaulan, memotivasi, juga menjauhkan orang yang tidak bisa masuk ke dalam circle-nya. Maaf sekali lagi untuk mengatakan itu."

Ingin sekali Hijir menertawai diri sendiri. Bahkan lelaki itu sepertinya sudah memahami Zaa dengan baik. Sedang dirinya? Menggelikan.

"Kamu pikir, dia menentukan patokan jawaban benar sejak awal?" Lelaki itu terkekeh. "Tidak. Zaa bermain opini di sana. Apa pun jawabanmu atau jawaban siapa pun akan dianggap salah meski di awal jawabannya sama. Kamu menjawab A, maka bagi Zaa yang benar adalah B, begitu pun sebaliknya. Ini permainan Zaa, Hijir. Jika kamu lebih cerdik, maka kamu akan kukuh bahwa jawaban kamu benar karena tiap opini itu benar menurut penggagasnya. Kemungkinan juga, Zaa bisa berubah pikiran dengan keputusannya jika kamu melakukan itu."

Diusapnya wajah kasar beberapa kali. Jadi, kisah Khosrow-Shirin yang ditanyakan Zaa waktu itu, benar-benar pertanda bahwa tak akan ada bersatu untuk mereka. Hijir tahu sekarang.

"Ingin tahu sebuah fakta?" tanya lelaki itu.

Hijir menoleh dengan tampangnya yang amat kusut. Jika saja bisa berdiri, ia mungkin sudah menonjok dinding sejak tadi untuk melampiaskan rasa frustrasi.

"Saya tidak pernah punya niat menikahi Zaa sebelumnya, karena saya dulu menganggap bahwa Zaa adalah sosok adik perempuan.

"Kedatangan ke kota ini awalnya murni liburan. Dua minggu sebelum program bahasa kalian selesai, saya memberitahunya akan mampir. Namun, semua berubah karena membaca salah satu postingan Zaa di media sosial. Itu juga yang membuat saya seketika bertanya pada Zaa sudah berada dalam khitbahan orang lain atau belum. Ya, sesuai yang kamu tahu, Zaa menjawab belum."

Bisakah Hijir menghentikan lelaki itu sekarang? Demi Allah, dadanya sesak mendengar semua. Bukan sepenuhnya pada patah hatinya, melainkan betapa naifnya diri sendiri karena sengaja mengulur. Bahkan lelaki di sampingnya tanpa ragu mengutarakan niat pada Zaa, sementara dirinya? Tenggelam dalam kekaguman semu.

"Seminggu sebelum program kalian selesai, saya sudah ada di kota ini tanpa Zaa tahu. Zaa memberitahu bahwa ia sempat tanya sama kamu mengenai buku Nietzsche Membunuh Tuhan, saya yang memberikannya. Hari itu dia pergi dari pesantren, bukan?"

Ujung Tirani (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang