6. Vague Faith

168 51 4
                                    

Dalam ruangan berukuran 4 x 4 meter itu, Hijir melamun dengan tangan bertopang dagu. Di meja rendah yang menjadi tumpuan tangannya sendiri, tergeletak beberapa buku serta laptop dan kamera yang dibiarkan mati.

Kilas kalimat Zaa berjejalan di kepala, menghantamnya lengkap dengan pertanyaan-pertanyaan rancu yang haus akan jawaban. Namun tetap saja, nihil. Si sumber rasa penasaran agaknya terlampau tak terbaca.

"Tumben lo dateng ke sini? Biasanya juga nenggelemin diri di perpus pesantren." Seorang pemuda datang dengan dua botol sprite dan beberapa bungkus cemilan di tangan. Setelah mengangsurkan salah satunya pada Hijir, ia ikut duduk di sana.

Ya, Hijir memilih keluar dari pesantren pada weekend kali ini. Ia memutuskan melakukan rutinitas yang dahulu sering dilakukan, sebelum mulai mengajar. Mengunjungi indekos Tamam, teman seperjuangan mendapatkan gelar sarjana dulu.

Jika Hijir memilih membagi ilmunya pada bidang yang sama dengan jurusan saat kuliah dulu, berbeda halnya dengan Tamam. Lelaki itu memilih menjadi fotografer yang menurutnya lebih bebas dan tidak terikat dengan lembaga.

"Mengurangi sedikit beban. Ada yang membuatku kacau di pesantren akhir-akhir ini."

Tamam memicingkan mata sebelum menggeser laptop serta kamera menjauh. Tak biasanya Hijir begitu. Empat tahun bersama belajar di jurusan Pendidikan Agama Islam sampai sekarang, tiga tahun setelah lulus, baru kali ini sang sohib tampak benar-benar seperti orang linglung.

"Masalah santri?" Jemari Tamam mulai membuka plastik chiki dengan sedikit kasar. Ia berpikir, paling masalah Hijir memang tak jauh-jauh dari itu.

Lelaki berkulit kecokelatan itu menyuapkan beberapa butir chiki sekaligus dan menguyahnya perlahan.

"Bukan, perempuan." Jawaban singkar Hijir tersebut sukses membuat Tamam tersedak.

Segera diraihnya sprite dan meminumnya hingga sisa setengah. Tamam lantas melemparkan tatapan horor pada sang kawan. "Sejak kapan? Lo mulai jatuh cinta ceritanya?"

Tak menunggu lama, tawa mengudara di kamar kos bernuansa serba hitam itu. Tamam sungguh tak menyangka bahwa Hijir bisa galau karena perempuan juga. Sangat langka.

Hijir sama sekali tak merespons ejekan Tamam. Ia justru menjawab dengan nada kelewat santai, "Seminggu yang lalu, tepat sehari sebelum pesantren mengadakan English Program sama EdgeLeaf."

Bak menyadari keseriusan tiap suku kata yang dilontarkan Hijir, atmosfer indekos Tamam seolah berubah. Kaku dan hening. Beberapa saat pun si empu kamar tidak bersuara, memilih mnggaruk pelan tengkuk yang tak gatal. Sepertinya Hijir benar kebingungan.

"Em ... jangan bilang, sama salah satu tutor." Tamam melemparkan tatapan sangsi. Bola mata yang terkesan sipit sengaja ia bulatkan sebisa mungkin.

Perlahan, Hijir mengangguk, membuat Tamam meringis.

"Terus, apa masalahnya? Kalau lo suka, ya tinggal jalanin prinsip lo. I mean, ngomong dan datengin orang tuanya." Santai Tamam mengatakan itu, tanpa tahu apa yang menjadi dilema dalam benak sohibnya.

Hijir mengembuskan napas panjang dan berat. Ia lantas menjatuhkan kepala pada meja, bertelungkup di sana. Hela demi hela napasnya terdengar jelas, memenuhi ruang dengan ukuran lumayan itu.

"Tidak semudah itu, Tam. Yang dia baca Kitab Weda," jawab Hijir.

Kembali Tamam terbatuk keras, kali ini karena tersedak ludahnya sendiri. Meminum soda itu, bukannya mereda malah semakin sakit dadanya. Sontak Tamam berdiri dan menghadap langit-langit. Entahlah, itu caranya meredakan yang dirasa.

Ujung Tirani (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang