14. An Assumption

158 50 12
                                    

Aura mencekam di ruangan penuh ustaz dan ustazah itu tak bisa dielak. Zaa pun bisa merasakannya. Perempuan yang sejak pagi tidak terlibat English Program itu memang ikut berakhir dengan andil dalam forum itu. Terlebih, ia tadi bersama Naba.

Seorang santriwati dengan jilbab amat lebar berdiri gelisah di tengah-tengah. Bahunya tak henti berguncang sejak tadi, menangis tanpa suara.

Sementara para guru menatap kecewa, lain halnya dengan Zaa yang bersikap kelewat santai. Toh ia tidak memiliki kepentingan sebenarnya.

"Kamu tahu kesalahan kamu, kan? Sudah jelas dalam peraturan, tidak boleh ada yang membawa rokok ke dalam pesantren, apa lagi sampai merokok." Laki-laki paruh baya dengan kobar amarah di matanya itu berdiri tegap di depan sang santriwati.

Tak lama, ia menoleh pada tenaga pendidik yang lain. Dengan jari telunjuk mengacung, beliau kembali berkata, "Apa hukuman yang kira-kira pantas untuk dia?"

"Such a less of attitude teacher," gumam Zaa, membuat Naba menoleh sekilas dengan terkejut. Namun, ia tidak mau menanggapi.

"Maaf, Ustadz. Bisakah kita bertanya dulu apa alasan Hana melakukan hal tersebut?" Bagaimanapun, Naba berusaha untuk melindungi santriwati itu. Paling tidak, agar semua jelas sebelum hukuman dijatuhkan.

Zaa mengangguk tanpa sadar, membenarkan perkataan perempuan di sampingnya.

"Sudah jelas dia bersalah, Ustadzah. Dengan alasan apa pun."

Merasa tak bisa membalas, Naba kembali diam, kali ini sampai menunduk dalam. Jelas ia tidak bisa melawan seseorang yang dulu juga ustaznya itu.

"Al-Hallaj dihukum mati dengan sadis hanya karena salah pahamnya orang-orang terhadap ajaran sufisme yang ia sebarkan. Hanya karena sebuah opini bahwa beliau 'salah'. Padahal, kesalahan baru muncul akibat pengikut fanatiknya yang membuat paham menjadi ekstrem jauh setelah beliau wafat. Hanya mengingatkan, jangan sampai menyesal karena salah langkah." Dengan santai dan tanpa beban Zaa menyahut.

Sejak kata pertamanya mengudara, Hijir masuk bergabung dan mendengar semua. Ah ... lagi-lagi dibuat terkejut oleh ucapan Zaa yang terkesan asal ceplos.

Bukan hanya Hijir yang terkejut, semua orang yang ada di sana pun sama. Mereka sudah mendengar tentang sosok tutor kritis, tetapi tanpa filter bernama Jauza. Meski begitu, mereka tak menyangka bahwa akan mendapatinya secara langsung hari ini.

"Islam mengajarkan sikap tawaduk terhadap guru. Namun, itu bukan berarti siswa tidak memiliki hak menyuarakan pikirannya, bukan? Saya yakin itu bukan miliknya," lanjut Zaa.

Tak mau membuat forum lain dengan Zaa, pada akhirnya mereka semua memberi kesempatan pada Hana untuk menjelaskan.

Benar saja, andai mereka tak mendengar penjelasan Hana, semua akan menyesal. Rokok yang ditemukan bukan milik Hana. Ia hanya menemukan selinting di dekat tempat sampah dan hendak membuangnya, tetapi gerakan tangannya lebih dulu tertangkap oleh santriwati lain. Akibatnya, kesalahpahaman menyebar dan semua itu terjadi.

Keluar dari kantor, Zaa melangkah santai di samping Naba.

"Miss Zaa, bagaimana Miss bisa tahu kalau rokok itu bukan milik Hana?" tanya Naba.

Hijir yang berjalan 2 meter di belakang keduanya pun ikut menguping, penasaran juga.

"Terlihat begitu saja. Dia bukan perokok," jawab Zaa singkat.

Naba memicingkan mata. Ia yang sejak kecil hidup di pesantren kebingungan tentu saja. Memang terlihat?

"Tapi, bagaimana?" Masih Naba mengorek informasi.

Ujung Tirani (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang