8. Stigma

164 55 11
                                    

"Besok mau ikut puasa sunnah nggak, Zaa?" tanya Rita sekembalinya Zaa ke kamar. "Kalau iya, nanti kita bisa sahur bareng."

Perempuan itu tak langsung menjawab, melainkan menggaruk pelipisnya dengan jari telunjuk lebih dulu. "Boleh deh, Mbak. Tolong bangunin, ya."

Keduanya sambil melempar senyum sebagai respons.

Malam semakin larut. Jika yang lain sudah berkelana dunia mimpi masing-masing, lain halnya dengan Zaa yang masih terjaga. Kantuk belum juga mampir, membuatnya berakhir menatap langit-langit kamar dengan beberapa sarang laba-laba menghiasi.

Satu per satu kerangka kayu penyangga genting ia amati. Bukan karena kurang kerjaan, Zaa justru melakukannya dengan alasan yang sangat jelas. Iya, bukan kayunya, melainkan beberapa cecak yang merayap dan menunggu mangsa di sana.

"Binatang yang boleh dibunuh," gumamnya.

Pikirannya jauh melayang ke dua tahun lalu, saat berbincang santai dengan sang ayah. Zaa yang saat itu belum menjadi tutor, pertama kalinya berani melemparkan tanya yang telah lama ia pendam.

"Kenapa cicak boleh dibunuh? Hanya karena pernah membantu meniup dan memperbesar api yang membakar Nabi Ibrahim. Padahal, masa itu dan sekarang berbeda. Bukankah lucu, Ayah?"

Jauh di luar perkiraan Zaa, ayahnya bukan marah, tetapi terbahak mendengar pertanyaan sang putri. Waktu itu Zaa langsung mendapat elusan pelan di kepala.

"Zaa, pemahamanmu yang kurang tepat." Hanya itu.

Zaa benar-benar kesal jika ingat. Mana pernah ayahnya menjelaskan secara gamblang, yang ada hanya menimbulkan pertanyaan baru di benak dan kepala perempuan itu.

Dari kecil, ia dituntut mencari tahu semuanya sendiri. Tak mau sang ayah repot-repot memberinya penjelasan barang sepatah. Jika ditanya kenapa, jawabannya selalu sama, "Kamu sendirilah yang harus mencari jawaban atas pertanyaanmu, lalu baru kita diskusikan. Ayah tidak mau pemahamanmu ikut terdoktrin pemahaman Ayah."

Alhasil, beginilah Zaa tumbuh kini. Dengan banyak pertanyaan yang akhirnya ia pecahkan sendiri. Lewat teman, pengalaman, buku, juga ... perjalanan.

Iya, peristiwa dibakarnya Ibrahim a.s. oleh raja Namrud ibn Kan'an. Raja pertama yang mengaku sebagai Tuhan dari kerajaan Babilonia yang sekarang dikenal dengan negara Irak.

Jika semut berusaha memadamkan api dengan membawa gumpalan air tak seberapa di mulutnya, maka benar, cecak-cecak itu meniup kobarnya, membesarkan api dengan embus napasnya.

Keberpihakan hewan berkaki empat dengan bantalan perekat di masing-masingnya itu membuatnya boleh dibunuh, selain karena suka buang kotoran sembarangan tentu saja. Di samping itu, dalam beberapa riwayat juga dikatakan hewan itu sering dijadikan para tukang sihir sebagai sarana menebar kemudharatan. 

Belum, Zaa tentu belum puas dengan penjelasan seadanya itu. Baginya, alasan itu masih tak masuk akal. Pada akhirnya, tepat sebulan setelah pertanyaan itu terlontar untuk sang ayah, ia mendapatkan jawaban yang berhasil membunuh dahaga rasa ingin tahunya.

Namanya Ikhtar, teman sekelas yang usianya tujuh tahun di atasnya saat belajar bahasa dulu. Sengaja Zaa bertanya pada lelaki lulusan jurusan Sejarah Islam itu. Awalnya Zaa tak berharap banyak, tetapi jawaban yang diberikan justru jauh melampaui perkiraan.

"Kenapa anjing dan babi haram? Padahal, itu juga makhluk Allah, ciptaan Allah, bahkan Allah bermanifestasi dalam setiap ciptaan-Nya. Kenapa, Jauza?"

Pertanyaan itu sontak menghantam sisi waras Jauza. Ikhtar berhasil membuat perempuan itu berpikir, jauh lebih dalam dari sebelumnya. Penyangkalan-penyangkalan pun hadir sebagai penyerta. Kenapa? Kenapa bukan kambing atau sapi yang haram? Kenapa?

Ujung Tirani (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang