3. The Piece of Bhagavadgita

201 50 1
                                    

Siapa yang dapat menjamin bahwa lingkungan tidak akan mempengaruhi kehidupan seseorang? Meskipun bicara berulang kali ia tidak akan berubah, nyatanya Zaa tetap mengalami itu. Menjadi lebih independen, berubah menjadi sosok yang lebih terbuka pada banyak hal, juga ... benar-benar hidup pada prinsip baru yang ia dapat dan sangat berbeda dari dirinya yang dulu.

"Bu Ansa, ini saya bener-bener nggak boleh lepas jilbab?" Keruh, begitulah ekspresi Zaa saat ini. Pertanyaan itu sudah terlontar untuk kelima kalinya pada sang atasan di EdgeLeaf.

Sebelum turun dari mobil, wanita bergaya kasual dengan jilbab pashmina itu menjawab pertanyaan Zaa, "Kamu nggak malu kalau kegiatan di pesantren tapi nggak pake jilbab?"

"Selama saya nggak telanjang, saya nggak malu kok, Bu," celetuk perempuan itu.

Ansa berdecak mendengar jawaban Zaa yang terkesan sembrono. Salah satu tutor andalannya itu memang paling susah diatur.

"No complaining! Cuma sebulan, Zaa. Betah-betahin, lagian kalau free kamu bisa pergi-pergi keluar pesantren, kok." Ansa lantas turun tanpa menunggu respons Zaa. 

Mereka sudah berada di lingkungan pesantren. Tepatnya, di halaman bangunan yang merupakan rumah pengurus pondok. Sebelum melakukan opening, mereka memang akan sowan terlebih dahulu.

Baru menginjakkan kaki di lingkungan pondok saja, Zaa sudah merasa sesak. Semoga dia benar-benar bisa. Ia melangkah menghampiri Ansa dan tutor yang lain yang sudah lebih dulu sampai di teras rumah. Rok plisket dusty pink-nya berkibar pelan, begitu juga dengan kemeja flanel oversize yang ia gunakan sebagai outer. Berbeda dengan Ansa yang menggunakan jilbab pashmina, Zaa lebih suka mengenakan jilbab segi empat dengan dua ujungnya disampirkan menyilang ke bahu.

Setelah pertemuan singkat itu, Zaa beserta tutor yang lain diarahkan ke aula pesantren, tempat opening akan dilaksanakan sekaligus pusat kegiatan sebulan ke depan dilaksanakan.

Tak ada yang spesial bagi Zaa, hanya sambutan dari beberapa pihak serta penjelasan mengenai bagaimana program tersebut berlangsung.

Namun, ada satu hal yang menarik perhatian perempuan itu di akhir acara. Karena pihak EdgeLeaf hanya mengatur materi dan segala sesuatu yang berkaitan dengan itu, pembagian kelompok di-handle langsung oleh pihak pesantren.

Zaa sempat tertegun mendengar bagaimana sistem yang mereka terapkan. Semua siswa dibagi sama rata, tanpa melihat mana yang masih basic dan mana yang sudah melampaui itu. Kabar buruknya Zaa tidak suka dengan sistem tersebut.

Selesai pembagian kelompok dibacakan, sekonyong-konyong Zaa mendatangi pemuda yang tadi membaca nama santri satu per satu.

"Maaf, boleh saya menyampaikan sesuatu?"

Dua pemuda yang dihampiri Zaa seketika menolah dan sama-sama memasang wajah terkejut.

"Kamu ... yang di depan resto kemarin? Sama pengemis itu?" Mata Hikam membola, hampir tak percaya perempuan yang dilihatnya kemarin tampak sangat berbeda hari ini.

Kemarin, Zaa mengenakan celana jeans dengan atasan berupa kaos oversize warna putih dan dibalut dengan jaket kulit hitam. Rambutnya? Tentu saja dibiarkan terurai, cukup mencolok dengan ujung berwarna terang. Lihatlah dia sekarang, sangat berbeda, bukan?

Tak berbeda dengan Hikam, Hijir pun dibuat tak percaya bahwa ia adalah parempuan yang sama.

"Hah? Depan resto?" Dahi Zaa berkerut, perlahan jari telunjuknya terangkat dan mulai menggaruk pelan pelipis. Tak lama, ia mengangguk. "Mungkin, tapi ... udahlah, nggak penting. Santai aja ya, ngomongnya. Di depan anak-anak beda urusan."

Ujung Tirani (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang