15. Does She Say, "Easiness"?

150 49 3
                                    

Jatuhnya Istana Al-Hambra ke tangan Isabella adalah tanda jatuhnya Granada dari tangan Islam. Kemenangan itu bahkan sampai dirayakan dengan dinyanyikannya hymne syukur di Katedral St. Paul London.

Menyusul itu, Islam di daratan Andalus semakin terdesak. Perjanjian yang mengharuskan pemeluk Islam serta Yahudi memilih memeluk Kristen atau meninggalkan Andalus membuat mereka tak berkutik. Islam berada dalam fase lemah-lemahnya.

Berkembanglah Spanyol yang hampir seluruhnya berada di bawah kekuasaan Kerajaan Castilla serta Aragon. Dengan pemimpin yang merupakan suami istri, Isabella dan Ferdinan, dua kerajaan itu menjadi tirani besar bagi Islam Andalus pada masanya.

Mamluk at-Thawaif yang berselisih satu sama lain pun memutuskan untuk bersekutu dengan raja-raja Kristen, di antaranya Kerajaan Naver dan Leon, pun Kastilla yang langsung berada di bawah Isabella.

Semakin kocar-kacir Islam dibuat saat Naver bersatu di bawah Ferdinan. Setelah Isabella meninggal pun, Ferdinan terus melakukan ekspansi wilayah. Namun, hal itu tak berlangsung lama. Saat Ferdinan mangkat, kekuasaan Kristen mulai berantakan karena perang saudara antara Alfonso dan dua saudaranya. Sejak saat itu, bukan hanya Islam yang lemah karena keserakahan orang-orangnya, tetapi juga Kristen.

Hijir memejamkan mata sejenak, menghalau gejolak dalam dada yang tak tertahan. Di depan meja kamarnya, dapat dirasa carut-marut Islam masa itu. Umayyah Andalus yang semula mahsyur runtuh, baik karena faktor internal atau eksternal.

Merasa miris, bukan, bukan untuk konflik yang melibatkan rasa ingin mempertahankan agama masing-masing. Hijir lebih tersiksa mengetahui fakta bahwa musuh besar Islam adalah saudara sendiri. Ketamakan, haus akan kekuasaannlah yang menjadi penyebabnya, baik Islam maupun Kristen. Mereka membiarkan diri sendiri dikendalikan tirani, kesewenang-wenangan kuasa yang buta.

Lelaki itu kembali membuka mata, menyorot datar tembok di depannya. "Tirani."

Tak lama, Hikam membuka pintu dan masuk. Hijir langsung menoleh ke arah temannya itu. Bukan ekspresi biasa saja yang dilihat Hijir, melainkan wajah kusut. Hikam tampak kacau.

"Kenapa, Kam?" tanya Hijir pada akhirnya.

Tak langsung menjawab, si sumber rasa penasaran justru menuju ranjangnya dan duduk di sana. Baru setelah menenangkan diri, ia berujar, "Habis dengar sesuatu yang memusingkan."

Sebelah alis Hijir terangkat. Ia pun memutar kursi agar leluasa memandang Hikam.

"Si Jauza. Tadi kan aku keluar akhir dibanding panitia pondok yang lain. Ternyata dia masih di sana sama beberapa anak didiknya. Karena penasaran, aku nguping," jelas Hikam berapi-api, "sesuai yang kamu bilang, Jir. Dia membingungkan. Ya ... perkara agama itu. Tadi anak-anak bertanya itu sama dia, tapi jawabannya begitu, ambigu."

Menghela napas lagi, entah sampai kapan ia akan melakukan itu tiap mendengar nama Jauza.

"Oh iya, Kam. Bagaimana akhir Perang Zallaqah?" tanya Hijir tiba-tiba. Ekspresinya berubah seketika.

Hikam memicingkan mata. "Kamu bertanya seperti itu, sudah tahu proses terjadinya?"

Gelengan pelan Hijir sukses mengundang decak kesal Hikam. "Malas, cari tahu sendiri. Em ... sedikit, deh. Beberapa sumber mengatakan kalau Alfonso VI kehilangan kaki."

-o0o-

Seperti biasa, Zaa selalu bangun tepat sebelum azan Subuh berkumandang. Bukan karena rajin, ia selalu melakukannya tanpa sadar. Mungkin kebiasaan saat belajar bahasa Inggris dulu sudah mendarah daging.

Bagaimana tidak? Kelas pertamanya adalah setelah salat Subuh. Jika iqamah terdengar dan para siswa belum sampai di sekitaran masjid lembaga, otomatis akan diberi huruf A besar-besar pada daftar hadir. Siapa yang mau? Sedang tiga kali mendapat A, sertifikat lulus sekaligus sertifikat mengajar akan ditahan pihak lembaga. Mimpi buruk.

Ujung Tirani (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang