27. The End of The Tyrant

147 43 0
                                    

Meski tak mendapat predikat kelompok terbaik berdasarkan nilai, tetapi kelompok Zaa mendapat predikat kelompok teraktif dan terbaik dalam public speaking.

Setelah acara selesai dan ustaz serta ustazah meninggalkan aula tadi, anak-anak menghampiri tutor masing-masing. Jika tutor lain memilih tempat lain untuk berkumpul, beda halnya dengan Zaa yang tetap duduk di posisi semula. Kakinya sakit.

"Miss keren banget tadi. Kita sampai kaget loh, Miss." Berbinar mata Musa saat mengatakannya.

"Kalian juga hebat, tahu. Terima kasih sudah menjadi anak-anak didik yang manis untuk Miss. Ah ... ini hari terakhir kita ketemu, ya?"

Wajah semua anak itu berubah murung. Secepat itu?

"Tetap semangat belajar setelah ini, jangan terpaku sama hasil. Nikmati saja prosesnya."

Tak rela anak-anak itu melepas Zaa. Namun, mereka harus. Setelah bercengkerama untuk beberapa saat, semuanya pamit dan meninggalkan aula.

Tersisa Zaa dan deretan kursi kosong di sana. Panitia memang akan membereskan semuanya setelah zuhur nanti. Sekarang, mereka sedang bersiap untuk jamaah. Jadi, aula benar-benar sepi.

Zaa berusaha bangkit, menapakkan kaki tanpa alasnya perlahan. Namun nihil, terlalu sakit. Pada akhirnya, Zaa memilih kembali duduk dan memejamkan mata sejenak, merasakan sensasi sakit di kaki kanannya.

Sebuah sentuhan mengejutkan Zaa. Ia segera membuka mata dan menemukan Hijir tengah berjongkok di depannya.

"Maaf, tapi kaki kamu harus diobati."

Zaa membiarkan lelaki itu membawa kakinya ke atas paha. Jujur, ia sedikit kaget melihat lukanya sendiri. Separah itu?

"Di kayu tadi ada pakunya?" Hijir melotot tak percaya. Bagaimana tidak? Terdapat darah yang mulai mengering di kaki perempuan itu.

"Aku nggak tahu. Mungkin iya," jawab Zaa singkat.

Dengan telaten Hijir membersihkan luka Zaa dengan kapas dan alkohol yang dibawanya.

Tak ada suara mengaduh atau apa pun, Zaa tetap tenang.

"Ke klinik pesantren, ya? Aku antar. Ah ... langsung ke puskesmas terdekat saja. Kalau sampai ternyata pakunya berkarat, bahaya."

Zaa tampak berpikir. "Zuhur."

Hijir mendengus. Ia meletakkan kembali kaki Zaa dengan hati-hati dan bangkit. "Makanya, ayo cepat. Biar aku tidak ketinggalan waktu salat Zuhur."

Mau tak mau, Zaa mengangguk. 

-o0o-

"Boleh saya nggak ikut acara besok?" Pertanyaan Zaa membuat atensi semua orang terfokus padanya. Di rapat pembubaran panitia malam ini, mereka memang baru diberitahu mengenai acara esok hari.

Tatapan tanya bergantian terlempar pada Zaa. Bukankah perempuan itu suka pergi-pergi? Kenapa ia menolak?

"Kaki Miss Zaa masih sangat sakit?" Lemparan pertanyaan Hijir itu semakin mengundang rasa penasaran orang-orang, tak terkecuali Naba yang mukanya sudah keruh.

Zaa menggeleng pelan. "Kaki saya bukan masalah. Masalahnya, saya sudah janji akan pulang besok. Kebetulan ada acara keluarga."

Ekspresi semua orang tampak murung, terlebih teman-teman tutor Zaa dari EdgeLeaf. Padahal, itu bisa menjadi perjalanan mereka bersama.

"Miss benar-benar tidak bisa ikut?" Alis Kang Reza tertaut. Bagaimanapun, acara itu adalah perpisahan antarpanitia.

Kerutan di dahi Zaa muncul. Ia tampak berpikir sejenak sebelum kembali berkata, "Em ... mungkin saya bisa menyusul sorenya. Kebetulan tempat diadakan acara tidak begitu jauh dari rumah saya. Bagaimana?"

Ujung Tirani (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang