7. The Part of God

177 51 1
                                    

Siang itu berakhir dengan kemajuan yang didapati Zaa pada murid-muridnya. Bahkan, materi yang seharusnya diajarkan pada minggu kedua, diberikannya lebih dulu pada Musa dan kawan-kawan di perpustakaan itu.

Jujur, Zaa sangsi apakah Hikam benar mengelompokkan anak-anak yang dibilang pemahamannya di bawah rata-rata. Sejauh Zaa mengajar anak-anak itu, ia justru merasa bahwa mereka sangat cerdas dengan tingkat pemahaman yang baik. Apa mungkin itu dikarenakan mereka nyaman? Ya, bisa jadi.

Setelah zuhur, Zaa dan para tutor serta penanggung jawab santri melakukan evaluasi mingguan. Semuanya berkumpul di aula dan duduk melingkar, beberapa di antaranya memangku laptop untuk mencatat hasil evaluasi siang itu.

Namun, jika dilihat, ada yang kurang. Hijir belum terlihat batang hidungnya, padahal rapat akan dimulai lima menit lagi.

"Ustadz Hijir belum datang?" tanya salah satu pembimbing pihak pondok.

Hikam kelimpungan di tempatnya. Belum pernah Hijir seterlambat ini, biasanya ia in time alias selau datang sebelum rapat dimulai.

"Maaf, Tadz. Tadi pagi Ustadz Hijir bilang ingin mengunjungi teman masa kuliahnya sebentar. Namun, saya tidak tahu kalau akan selama ini," jawab Hikam pada akhirnya.

Berbeda dengan Zaa yang tak terpengaruh dan memilih asyik mengetik laporan yang belum rampung seutuhnya, perempuan berhijab lebar di seberang justru tampak sama khawatirnya dengan Hikam. Naba namanya, ustazah kesayangan para santriwati yang juga seorang ketua pengurus pondok putri.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa perempuan 24 tahun itu menyimpan rasa untuk Hijir, ia bahkan sudah sering dijodoh-jodohkan dengan lelaki itu, tetapi Hijir tidak memberi respons sama sekali.

Naba yang juga alumni Pondok Tsabitul Asdaq sudah berulang kali dilamar sejak zaman menempuh pendidikan dulu. Tidak main-main, bahkan sahabat sang kiai pernah mencoba meminangkan Naba untuk putranya, tetapi ditolak. Alasannya ia masih ingin menjalani kehidupan menempuh pendidikan tanpa memikirkan hal lain.

Setelah ia mengajar dan Hijir diterima sebagai salah satu tenaga pengajar, Naba jatuh hati. Itu terjadi saat pengajian umum dan Hijir untuk pertama kalinya didapuk menjadi salah satu pembicara. Hijir yang pandai berbicara di depan umum dengan kalimat lembut serta mantapnya, berhasil membuat Naba terpana dan takjub bersamaan.

"Assalamu'alaikum." Hijir mengambil alih atensi semua orang yang ada di sana, kali ini tak terkecuali Zaa.

Pandangan mata mereka sempat bertemu. Zaa menatapnya kosong dengan sebelah alis terangkat, sedang sorot Hijir tampak sayu.

"Maaf, saya terlambat," lanjut lelaki itu lantas duduk di tempat yang masih kosong.

"Baiklah, karena sudah hadir semua, mari kita mulai rapat pada siang hari ini."

Di tengah-tengah jalannya rapat, Zaa mulai bosan. Bukan apa-apa, menurutnya inti diadakannya pertemuan sudah terlaksana, tetapi mereka yang ada di sana malah asyik membahas hal lain yang sama sekali tidak berkaitan. Sungguh Zaa ingin pamit ke kamar lebih dulu, tetapi belum ada tanda-tanda acara ditutup.

Zaa mengembuskan napas panjang dan mulai mengamati semua orang yang ada di sana satu per satu. Tidak ada yang menarik baginya, orang-orang itu terlihat sama dan rata-rata.

"Teman-temanku di tongkrongan lebih menarik," batin gadis itu.

Masih terus menyusuri orang yang ada di sana, tatapan matanya berhenti pada sosok Naba. Di antara yang lain, perempuan itu memang tampak lumayan mencolok dengan tutur kata dan sikap kelewat lembutnya.

"Ustadzah Naba itu sesekali harus mendapat bonus keluar pesantren, biar tidak di dalam pondok terus." Salah seorang perempuan terkikik sambil menutup bibir.

Ujung Tirani (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang