29. A Half of Truth

158 47 8
                                    

Acara berlangsung selama dua hari dua malam. Kini, di hari ketiga, mereka harus kembali ke pesantren. Setelah membereskan semua peralatan, para santri dan santriwati diarahkan menuju bus masing-masing.

Sampai di tempat bus terparkir, Zaa mundur beberapa langkah. Pashmina bahan cerutinya sedikit bekibar terkena terpaan angin. "Em ... boleh aku pulang sendiri? Jika aku ikut ke pesantren, aku harus putar balik cukup jauh untuk pulang ke rumah."

"Zaa, kita sudah terpisah loh, berangkatnya. Nanti kalau sampai pesantren, kan kamu bisa minta temen kamu yang waktu itu buat jemput," protes salah satu rekannya.

Zaa mendengkus. Kalau begini, mau tak mau ia harus ikut.

Semua tersenyum saat Zaa mengangguk. Saat yang lain sudah naik ke dalam bus, Zaa mengembuskan napas panjang. Ia melangkah mantap dan menghampiri bangku di samping Rita, satu-satunya tempat yang masih kosong.

"Eh, kamu yang pinggir jendela aja deh, Zaa. Kepala aku pusing lihat jalanan." Permintaan Rita diberi anggukan oleh Zaa.

Sepanjang perjalanan, tak banyak yang mereka lakukan, hanya menatap jalanan. Sementara Zaa, sudah gelisah tak karuan. Entahlah, jantungnya tidak berhenti berdetak kencang. Padahal, ia biasa saja, pun tak ada yang mengganggu pikirannya sebenarnya.

Hendak sampai di tikungan curam, Zaa semakin tak tenang. Batinnya bergejolak, telinga berdenging seketika. Benar saja, bus oleng tak karuan. Teriakan dan jeritan mulai memenuhi indra pendengaran satu sama lain.

Setelah menabrak pembatas jalan, bus terperosok ke dalam jurang, berguling beberapa kali. Tubuh para penumpang bergoncang hebat, terlempar ke sana kemari, menghantam kursi, jendela, atap-atap bus, juga bertabrakan satu sama lain. Ada juga yang terlempar ke luar jendela.

Terhantam keras, jendela-jendela bus pecah, serpihan kaca berhamburan tak karuan.

Bus baru berhenti setelah tertahan oleh batang pohon.

Darah, semuanya bersimbah darah. Tak terkecuali Zaa yang tubuhnya terjepit di antara kursi yang sudah tak berbentuk. Dengan darah mengalir melewati kening, Zaa masih sempat membuka sebelah mata, menatap kabur orang-orang yang sudah tak sadarkan diri dan Hijir yang masih sepenuhnya sadar.

Samar, Zaa melihat Hijir kepayahan menarik kakinya yang terjepit. Di dahi lelaki itu juga mengalir darah. Sembari merangkak, lelaki itu menghampirinya dengan air mata berderai.

Hijir sudah tak peduli apa pun. Ditangkupnya pipi Zaa sambil menangis. "Zaa, tetap sadar, Zaa. Aku mohon."

Pelan, tangan kanan Zaa yang masih bebas memegang tangan Hijir, meremasnya pelan, seakan meyakinkan bahwa ia akan baik-baik saja. Senyum pun terbit di bibir perempuan itu. "Wahai jiwa-jiwa yang tenang ...."

Zaa berusaha mengedipkan dua matanya. Tepat sekali, darah mengalir dari mata kiri yang sejak tadi tertutup.

"Sakit, Hijir." Ia mengatakannya bersamaan dengan remasan tangannya yang menguat di tangan lelaki itu. "Allah ...." Kegelapan pun merenggut kesadaran Zaa.

"Tidak, Zaa. Aku mohon, tetap sadar, aku mohon." Tangis Hijir semakin pecah. Tangannya yang masih berada di pipi perempuan itu bergetar hebat. "Zaa, aku tahu jawabannya, aku tahu. Tolong, dengarkan jawabanku dulu, Zaa. Tolong."

Pandangan Hijir ikut mengabur. Dalam kesadaran yang juga di ambang batas, netranya menangkap kilau dari benda yang melingkar di jari manis Jauza.

"Sejak kapan cincin itu ada di sana, Zaa?"

-o0o-

Tragedi seminggu lalu itu masih menjadi buah bibir di Pesantren Tsabitul Asdaq juga EdgeLeaf. Setelah berita menyebar, mereka semua gempar, geger penuh tangis.

Ujung Tirani (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang