9. Stupidity

169 49 6
                                    

"Aku semakin tidak mengerti denganmu, Jauza." Hijir masih bertahan di ruangan beraroma buku itu.

Setelah Zaa meminta kembali bukunya tadi, perempuan itu langsung pergi tanpa menjawab pertanyaannya. Ia pergi meninggalkan ambigu yang kental dalam benak Hijir. Selalu begitu. Namun, ada satu hal lagi yang membuat Hijir semakin kelimpungan. Pertanyaan yang Zaa lontarkan sebelum benar-benar pergi.

"Pernah merasakan suasana liturgi dalam gereja? Aku bisa mengajakmu ke sana hari Minggu nanti jika mau."

Bagaimana Hijir tidak gila? Memikirkan Jauza orang seperti apa saja sudah membuatnya gelagapan setengah mati dan kini? Ia diajak mengikuti arus perempuan itu? Benar-benar gila.

Setelahnya, Hijir menggelengkan kepala tak habis pikir. "Kenapa kamu tiba-tiba jadi patung seperti tadi, Hijir? Kenapa tidak menjelaskan pada Zaa tentang konsep mubadalah dalam fiqih? Prinsip kesetaraan itu harusnya bisa selaras dengan pikiran Zaa."

Iya, Hijir hanya bisa merutuk menyadari ketelodarannya.

-o0o-

Tepat pukul empat sore, setelah ia keluar dari masjid melakukan zikir, Hikam menghampiri sambil tergopoh.

"Ada yang nyari kamu. Katanya, teman kuliah," ucapnya.

Hijir mencoba mengingat siapa yang kira-kira datang. Mengingat obrolannya di kolom chat sebelum azan Asar tadi, ia mengangguk. Tamam. Lelaki itu mampir ke pesantren untuk memberikan laptop Hijir yang dipinjamnya kemarin.

Segera lelaki itu berderap ke tempat penerimaan tamu. Bagaimanapun, ia tetap harus patuh pada peraturan pesantren.

"Assalamu'alaikum." Wajah Tamam semringah. Ia menyambut kedatangan Hijir dengan senyum lebarnya.

"Wa'alaikumussalam. Sudah tidak perlu laptop?" tanya Hijir.

Tamam mengasurkan benda tersebut lengkap dengan tas yang melapisinya. "Hamdalah, laptop gue tadi pagi balik dari tempat servis."

Tidak berniat langsung pergi memang, Tamam sengaja melongokkan kepala, meluaskan sudut pandangannya. Mungkin saja ia bisa setidaknya melihat perempuan yang dimaksud Hijir. "Lo nggak mau ngajak gue keliling pesantren? Udah lama gue nggak ke sini, pasti banyak yang berubah."

Sejenak Hijir berpikir, tak biasanya sang kawan meminta. "Ah ... kebetulan para santri dan santriwati sedang berkumpul di aula. Ada sedikit pengarahan mengenai kegiatan English Program nanti malam. Mau ke sana?"

Mata Tamam semakin berbinar. Akhirnya, yang ditunggu datang. Ia lantas mengangguk bersemangat.

Keduanya bergegas sebelum acara itu selesai. Pasalnya, tak ada materi, hanya pengarahan sedikit.

Sampai di depan pintu samping aula, mereka berhenti. Mata Tamam menelusuri penjuru ruangan, mengira-ngira siapa yang kiranya berhasil mengambil hati sang sohib.

Pada satu titik, Tamam berhenti. Ekspresinya berubah 180 derajat. Dahinya berkerut dalam dengan mata menyipit dan pangkal alis tertaut. "Lafa?" gumamnya.

Merasa mendengar sesuatu, Hijir menoleh dan mendapati Tamam dengan ekspresi bingungnya. "Kamu bilang apa?"

Seakan tersadar, Tamam menggeleng pelan. Ia pun menoleh pada Hijir sejenak dan kembali menatap ke arah perempuan yang sempat ia kenali. Namun, tidak ada.

"Kayaknya gue salah lihat tadi. Gue kayak lihat temen SMP gue." Meski sudah bersikap seperti semula, tetapi Tamam tetap terkejut sebenarnya.

"Teman SMP?" ulang Hijir, membuat Tamam mengangguk, "siapa namanya? Mungkin memang benar teman kamu."

Ujung Tirani (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang