4. Imperfect Islamization

181 52 2
                                    

"Kenapa kita dipisahin dari kelompok sebelumnya, Miss?" Dua ujung bibir anak lelaki itu melengkung ke bawah. Keruh, begitulah ekspresinya yang dapat Zaa tangkap. "Mentang-mentang kita paling bodoh bahasa Inggris, jadi dipisahin dari yang lain."

Di tempatnya, Zaa tersenyum simpul, meski hatinya tercubit mendengar pengakuan tanpa sadar itu. Perlahan, jarinya beralih memegang tiga board marker dengan warna berbeda yang semula tergeletak di depan duduk bersimpuhnya.

Pertama, ia menunjukkan spidol berwarna hitam. "Ini warnanya apa?"

Pertanyaan Zaa mengundang kerutan dahi sepuluh santri itu. Kenapa hal yang sudah jelas seperti itu dipertanyakan?

"Hitam," sahut santri bernama Gufron.

Zaa beralih mengacungkan spidol merah. "Then ... ini warnanya apa?"

"Merah." Kali ini Ezra yang menjawab.

Tidak tahan karena merasa dipermainkan oleh tutor yang akan mengajarnya selama sebulan ke depan itu, Musa pun menimpali, "Miss, kami kan mau belajar bahasa Inggris, kenapa malah ditanya kayak anak TK? Lagi pula, tutup spidolnya kan udah ada warnanya, kita udah pasti tahu."

Iya, dia adalah Musa. Santri yang dekat dengan Hijir.

"Justru itu. Kalian mau belajar bahasa Inggris, kenapa menjawab dengan bahasa Indonesia? Terpengaruh oleh pertanyaan saya? Padahal, saya yakin kalian sudah tahu macam-macam warna dalam bahasa Inggris." Lontaran pembalasan dari Zaa memancing cengiran dari para santri itu. Benar juga.

Melihat anak-anak yang kikuk itu, Zaa tersenyum semakin lebar. Kembali ia menggenggam tiga spidol di tangan kirinya. Sengaja ia memegangnya tepat pada bagian tutup, hingga mereka tidak dapat melihat secara pasti mana warna yang dimaksud. "Sekarang, Which is the blue one?"

Zaa mendapat beragam jawaban dari mereka semua. "See? Jawaban kalian berbeda-beda karena memang tiga spidol ini berbeda warna. Sama halnya dengan pembagian kelompok. Bisakah saya menggunakan tiga spidol ini bersamaan dan menghasilkan warna yang sama?"

Seluruh anggota dalam kelompok itu menggeleng bersamaaan.

"Mungkin kalian berpikir bahwa kalian dijadikan satu kelompok karena kalian sama. Namun, itu tujuan saya untuk membuat kalian berbeda dari yang lain. Mari kita berbicara secara terbuka di sini.

"Kalian itu nggak bodoh, sama sekali nggak. Kalian hanya belum bisa. Lagi pula saya yakin, meskipun kalian belum bisa dalam bahasa Inggris, kalian pasti hebat di salah satu pelajaran lain. Everyone has their own passionate, punya passion-nya masing-masing. Namun, saya di sini mencoba untuk menumbuhkan ketertarikan kalian ke bahasa Inggris.

"Alasan utama saya memisahkan kalian dari kelompok sebelumnya adalah agar nggak ada ketimpangan pemahaman antaranggota kelompok. Saya yakin, jika ada satu anak yang menonjol dalam satu kelompok, akan ada dua kemungkinan. Kalian minder atau kalian bergantung.

"No. Saya nggak mau kalian seperti itu. Saya mau kalian jadi anak yang out-standing, berani, dan nggak bergantung pada kemampuan orang lain. Apa itu cukup jelas?"

Jika sebelumnya masih tampang polos yang didapati Zaa, berbeda kali ini. Semua anak dalam kelompok itu menunduk, sadar jika apa yang dikatakan perempuan 21 tahun itu benar. Mereka memang sedikit insecure jika berada satu kelompok dengan teman yang memang lebih menonjol.

"Satu lagi, saya ingin kalian fokus pada proses belajarnya, bukan pada hasil lomba antarkelompok nanti. Hasil itu cuma bonus. Do you get it?"

Satu per satu anak mulai kembali mengangkat kepala, diikuti dengan anggukan mantap. Senyum terpatri di masing-masing bibir, tak terkecuali Zaa.

"Oke, karena saya belum tahu nama kalian, kalian bisa memperkenalkan diri lebih dulu. Use English please ...."

Ujung Tirani (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang