26. Drama

139 46 6
                                    

Malamnya, lagi-lagi Hijir tak bisa terlelap. Jika malam sebelumnya ia disibukkan kepentingan pesantren, malam ini ia harus membaca habis buku yang dipinjamnya dari perpustakaan. Sama seperti buku yang Zaa kira pemberian darinya. Hijir bahkan terkejut melihat buku itu juga ada di deretan rak perpustakaan pesantren.

Dibaca kalimat per kalimat dengan cermat. Zaa benar-benar aneh. Bagaimana mungkin ia minta diperjuangkan dengan cara belajar seperti itu? Geli sendiri Hijir memikirkannya.

Pukul setengah satu dini hari, lelaki itu baru bisa terlelap, masih dengan pikiran yang amat buntu.

Keesokan paginya, Hijir mendapati suasana sedikit berbeda di lingkungan pesantren. Jika biasanya setelah jamaah Subuh dan mengaji semua akan sibuk bersih-bersih, pagi ini berbeda. Anak-anak yang ikut program bahasa tampak sibuk mempersiapkan kostum untuk pentas seni nanti.

Beberapa anak berlari, beberapa lagi Hijir lihat tengah mematangkan persiapan di bawah pohon mangga. Pemandangan yang cukup langka.

Tepat pukul setengah delapan, semua sudah siap di aula. Bukan hanya panitia dan peserta, tetapi juga jajaran pondok pesantren. Beberapa anak kelas delapan dan sembilan juga tampak di sana, ingin menonton semeriah apa farewell party program bahasa tahun ini.

Jika biasanya Zaa bergabung dengan kelompoknya, kini ia tampak bersama anak-anak drama perempuan yang berada di barisan kiri depan, tepat di belakang ustaz dan ustazah akan duduk. Sementara itu, anak drama laki-laki ada di seberang mereka. Pengaturan tempat duduk memang begitu. Para santriwati duduk di barisan kiri sementara santri di barisan kanan. Tengah-tengah sengaja diberi jalan.

Pakaian mereka sudah menyesuaikan karakter masing-masing. Ada yang mengenakan baju compang-camping, daster, baju khas anak-anak, sampai petani dan nelayan. Beberapa berdandan surealistik, dengan ukiran-ukiran di dahi dan pipi.

"Miss Zaa belum ganti kostum?" tanya salah satu santriwati di dekatnya. Ia bingung tentu saja.

"Nanti, biar jadi surprise buat yang lain. Lagi pula, kita tampil urutan terakhir, mengakhiri persembahan yang lain."

Santriwati itu mengangguk, diikuti yang lain.

Acara dimulai tepat pukul delapan pagi. Diawali dengan pembukaan dan sambutan, semua berjalan lancar. Tepat setengah sepuluh, penampilan para santri dan santriwati mulai dilakukan.

Pertama adalah story telling. Seorang santriwati maju dengan penampilan all out-nya. Dengan boneka tangan, anak itu menceritakan kisah Si Tudung Merah. Penampilannya sukses dang mengundang tepuk tangan luar biasa.

Penampilan demi penampilan usai. Satu lagi sebelum menuju drama dan Zaa menghilang. Anak-anak didiknya panik. Bagaimana pentas berjalan tanpa perempuan itu?

Namun, salah satu mereka berkata, "Percaya aja sama Miss Jauza. Tadi juga Miss Zaa belum pakai kostum, mungkin persiapan. Kita tampilin aja yang terbaik, sesuai yang dikatakan Miss Zaa sebelumnya."

Yang lain hanya bisa mengangguk mendengar itu.

Ketika tim mereka dipanggil, serentak mereka berdiri dan maju. Sampai di depan sana, sebelas anak itu membungkukkan badan, memberi hormat sebagai pengganti ucapan salam. Jangan ditanya, jelas ajaran Zaa.

Mereka sempat berkumpul sejenak, memejamkan mata di depan semuanya, dan kembali membuka mata dengan karakter yang berbeda. Semuanya berpencar, menempati posisi masing-masing.

Hijir di tempatnya tengok ke sana kemari karena tidak menemukan Zaa. Bukankah ini penampilan tim didikannya? Namun, sampai musik pengiring drama dimulai, perempuan itu tak juga muncul.

Ujung Tirani (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang