11. On Point

166 52 5
                                    

Memang siapa yang bisa terlelap setelah kejadian di aula tadi? Hikam dan Hijir yang berbagi kamar pun masih sama-sama menatap langit-langit dengan gamang.

"Hijir, kamu ingat Ratu Isabella dari Kastila Spanyol?"

Lelaki itu segera menoleh ke arah Hikam, memberikan tatapan penuh tanya padanya. Ah ... sesuatu yang Hijir suka dari Hikam telah kembali. Lelaki itu mulai bersikap layaknya saat mengajar Sejarah Islam.

"Ingat, kenapa?" Hijir kembali menatap langit-langit, membiarkan matanya dimanja warna cokelat genting juga kayu-kayu kerangkanya.

"Bukankah dia ratu yang hebat? Setelah mengambil alih kembali takhta dari tangan Yuana, dengan suaminya, Ferdinan, Ratu Isabella berhasil menguasai sebagian besar wilayah Spanyol." Hikam tak mengalihkan pandangan sama sekali. Sejenak, ia terdengar mengembuskan napas panjang.

Hijir yang belum tahu akan bermuara ke mana perkataan Hikam, mengerutkan dahi dalam. Tidak biasanya rekannya itu mau membicarakan hal seperti itu. Biasanya, jika Hijir bertanya tentang sejarah saja, Hikam akan langsung meminta lelaki itu mencari tahu sendiri.

"Ratu Isabella memang hebat. Namun sayang, dia kejam. Karena penaklukan Granada yang dia lakukan dengan Raja Ferdinan dari Aragon, Islam semakin goyah." Hanya itu yang mampu Hijir ucapkan.

Kali ini kalimat Hijir sukses membuat Hikam menoleh. Ia lantas bangkit dan duduk bersila di atas ranjang dengan posisi menghadap ke ranjang Hijir.

"Pengadilan gerejawi, salah satu langkah yang mereka lakukan pada awal pemerintahan. Mereka menggunakan itu sebagai salah satu bentuk Kristenisasi. Menumpas orang-orang yang dianggap sebagai penebar bid'ah dalam Kristen. Inkuisisi dipimpin oleh pendeta fanatik bernama Thomas de Torquemada yang dipilih langsung oleh Ratu Isabella."

Lelaki yang masih bertahan dalam posisi rebahnya itu semakin tak mengerti. Dengan kerutan kian dalam, ia pun bangkit dan ikut duduk bersila.

"Ribuan orang tertangkap, mereka disiksa bahkan dibakar hidup-hidup. Benar, Hijir. Ratu Isabella kejam." Hikam memandang Hijir dalam. "Tidakkah kamu merasa bahwa Jauza juga seperti itu? Maksudku, dia tidak kejam, tetapi aku selalu merasa dia memiliki aura intimidasi yang sangat kuat. Seperti halnya Ratu Isabella, Jauza ... punya pengaruh yang tidak dapat dielak."

Hijir menunduk seketika. Ia memikirkan kembali dialog-dialognya dengan Hikam sejak awal. Jujur, ia juga merasa demikian.

"Aku selalu ... seolah kehilangan orientasi sesaat waktu berhadapan dengan Zaa, Kam. Seperti tadi, aku hanya bisa mengatakan maaf karena telah salah memilih kata. Terlalu banyak kejutan, bahkan aku bisa bilang, karena itu, Jauza seakan memiliki dunianya sendiri, tidak tersentuh siapa pun."

Memikirkan perempuan itu tidak akan ada habisnya. Hari-hari Hijir yang semula adem ayem pun harus hirap begitu saja. Jauza terlalu membuat siapa pun kacau. Apa lagi, jika mengingat kenyataan bahwa Zaa adalah Lafa, perempuan yang pernah membuat temannya tergila-gila.

Hikam berdecak sekali sebelum kembali bersuara, "Oh iya, Jir. Kamu sudah ada titik terang pasal rasa penasaran kita?"

Alis Hijir tertaut. "Yang mana?"

"Agama Zaa."

Lagi dan lagi, Hijir menghela dan mengembuskan napas panjang. "Sebenarnya ini bukan hak kita untuk tahu, Kam. Namun, mau kubagi penemuanku?"

Anggukan mantap diberikan oleh sang lawan bicara. Memang benar itu bukan urusan mereka, apa lagi perihal keyakinan adalah urusan pribadi masing-masing dengan Tuhan. Namun, mereka terlampau ingin tahu, toh mereka tak akan mengganggu apa pun yang diyakini Zaa.

"Kemungkinan besar Zaa Islam karena aku baru tahu bahwa temanku yang tadi sore pernah dekat dengannya, tapi aku belum yakin. Dia memiliki Kitab Weda dan bahkan membacanya bebas di pesantren, aku melihatnya dua kali.

Ujung Tirani (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang