20. Unwanted Proposal

135 47 5
                                    

Sekonyong-konyong, kabar subuh itu membuat Zaa murka. Baru hilang rasa kesalnya karena pertanyaan tanpa filter Naba Sabtu kemarin, ia sudah disuguhi yang lebih menyebalkan.

Ayahnya menelepon, mengatakan bahwa ada lelaki yang datang melamarnya semalam. Gilanya lagi, ayahnya masih memberi kesempatan, padahal beliau tahu bahwa Zaa pasti menolak dengan keras lelaki itu.

Di telaga, tak henti Zaa menghentakkan kaki, melampiaskan amarah pada udara lewat tendangan tak beraturan sesekali. Kegilaan apa lagi yang dilakukan pemuda itu? Dia benar-benar nekat, tidak dulu maupun sekarang.

"Ayah, udah berapa kali Zaa bilang, Zaa nggak mau. Keputusan itu nggak bakal berubah." Ia terus mencoba memberi pengertian pada orang di seberang telepon.

"Zaa, Ayah nggak menerima atau menolaknya. Ayah hanya menangguhkan ke kamu, membiarkan kamu yang menjawabnya sendiri besok. Ayah tahu kamu akan menolaknya, tapi tidak sopan rasanya kalau langsung menolak begitu saja. Tanpa adanya kamu di sini. Lebih-lebih, yang datang bukan dia sendiri, Zaa. Orang tuanya datang jauh-jauh, bahkan rela menginap untuk menunggu jawaban langsung kamu nanti malam."

Zaa membulatkan mata, tak percaya pada apa yang baru saja didengar. "Tunggu! Dia bawa orang tuanya?"

Sang ayah mengiyakan pertanyaan Zaa. Ia memejamkan mata sejenak, mengatur napas yang memburu. Lelaki itu benar-benar mencari masalah kali ini. Suhu dingin telaga bahkan benar-benar tak terasa.

"Oke. Jadi, hari ini Zaa harus izin buat nggak ikut program di pesantren dan pulang? Cuma buat nolak lamaran itu? What a beautiful day, Yah!" Tangannya yang bebas memijit pangkal hidung. "Baik, Zaa izin hari ini. Wassalamu'alaikum."

Bukan menolaknya yang jadi masalah, tetapi melihat ekspresi kecewa orang tua pemuda itu yang membuat Zaa beban pikiran. Tak dapat lagi menahan emosi, perempuan itu mendekati pohon dan mendaratkan tinjuan keras di sana. "Natiq sialan!"

"Kamu dilamar seseorang?" Suara itu membuat Zaa membulatkan mata. Siapa yang menyusulnya subuh-subuh begini?

Zaa segera berbalik badan dan mendapati Naba di sana. Ia menyembunyikan tangannya di belakang, tak mau perempuan itu melihat luka di buku-buku jarinya.

"Seberapa banyak yang kamu dengar, Naba?" Tatapan mata Zaa belingsatan. Demi apa pun, ia paling tidak bisa jika masalah pribadinya terekspos begitu.

Perempuan bergamis abu itu tersenyum lebar. "Maaf, saya mendengar semuanya, Miss Jauza."

Memejamkan mata, hanya itu yang bisa dilakukan Zaa untuk mengurai ketidaktenangannya.

"Dari dulu kamu seperti penguntit. Bedanya kali ini aku nggak tahu." Nada suara Zaa sudah kembali tenang.

Naba mendekat. "Saya tidak akan ikut campur karena itu bukan hak saya. Saya ke sini, untuk minta maaf karena telah lancang kemarin-kemarin, Miss. Saya benar-benar malu karena memberikan pertanyaan-pertanyaan itu. Sekali lagi, saya minta maaf. Saya benar-benar menyesal."

Zaa menarik napas dalam dan mengembuskannya pelan. "Nggak masalah. It's normal, kamu hanya menyuarakan pikiran. Em ... karena kamu dengar semuanya tadi, sekalian saja. Aku harus izin pulang hari ini juga. Bisa, kan? Seenggaknya, bantu aku jelasin ke Bu Ansa, atasan aku."

Naba pun mengangguk mantap, tak lupa dengan senyum yang tersungging lebar.

-o0o-

Izinnya Zaa secara tiba-tiba di Senin ini benar-benar membuat kelimpungan. Sama halnya saat perempuan itu masuk rumah sakit. EdgeLeaf tentu tidak bisa menyiapkan tutor pengganti begitu saja, tidak seperti saat Zaa sakit yang memang ada tutor lain dengan jadwal kosong.

Ansa yang hari ini kebetulan datang pun sudah memohon agar Zaa mengundur izinnya. Namun, tidak bisa tentu saja. Beragam alasan yang Zaa lontarkan juga Naba yang membantunya tidak membuahkan hasil, Ansa tetap memintanya stay. Karena hal itu, mau tak mau Zaa harus mengungkap alasan yang sebenarnya.

Pada akhirnya, Naba yang dengan senang hati menggantikan. Meski tidak memiliki basic bahasa Inggris seperti Zaa, tetapi perempuan itu masih paham dengan materi yang dijadwalkan hari ini.

Syukur, semua berjalan normal, meski pada awalnya anak didik Zaa melayangkan protes. Lagi-lagi mereka ditinggal sang tutor.

Tepat sebelum istirahat siang, Hijir baru memasuki aula karena sebelumnya ada urusan. Melihat kelompok yang sangat dihafalnya tidak bersama Zaa, lelaki itu heran jelas. Ia bertanya-tanya ke mana perempuan itu sebenarnya. Namun, ia memilih bungkam.

Di waktu istirahat, ia tidak langsung bersiap ke masjid, melainkan membantu membereskan sarana yang tadi dipakai.

Hendak keluar aula, langkah Hijir terhenti saat mendengar pembicaraan Ansa dan penanggung jawab tutor yang ia tahu bernama Rita. Dua perempuan itu sengaja berbisik di sudut, tetapi dengan jelas Hijir mendengar nama Jauza disebut. Menguping, lebih tepatnya, tidak sengaja mendengar.

"Jadi, kamu yang teman sekamar Zaa nggak tahu apa-apa tentang itu?" tanya Ansa.

Rita menggeleng. "Zaa itu sering ngilang, Bu. Tiap saya bangun subuh, dia udah nggak ada di kamar. Tiap kembali ngajar, dia langsung pergi. Bagaimana saya tahu mengenai itu? Zaa juga nggak pernah cerita kalau dia dekat sama laki-laki."

Jawaban itu membuat Hijir semakin bungkam. Apa maksudnya? Dahinya berkerut dalam, jantungnya pun sudah berdegup kencang, tidak siap mendengar apa selanjutnya.

Ansa di tempatnya menghela napas. "Tapi dia bilang kabar ini juga mendadak. Katanya, baru subuh tadi dia dapat telepon dari ayahnya bahwa akan ada yang datang melamar. Makanya izinnya juga mendadak."

Cukup, Hijir ingin tertawa sekarang. Iya, menertawai diri sendiri. Bisakah Zaa membuatnya lebih terkejut dari sekarang? Hijir rasa tidak.

Tanpa sadar, langkah kaki membawanya mendekat ke arah dua perempuan itu. Kedatangan Hijir sontak membuat Ansa dan Rita kaget.

"Maaf, saya tidak sengaja mendengar percakapan Bu Ansa dan Miss Rita. Apa ...." Pandangan mata Hijir kosong, hampir pula ia tak sanggup meneruskan kata-katanya. Namun, Hijir tetap berusaha bertanya, "Jauza benar-benar izin karena dilamar seseorang?"

Dua perempuan yang semula terkejut itu saling pandang, melemparkan tanya satu sama lain dengan tatapan mata. Mereka tahu sorot apa yang diperlihatkan Hijir.

Ansa menggeleng pelan dan mengembuskan napas. Sehati-hati mungkin ia bertanya, "Em ... apa Ustadz menyimpan rasa untuk rekan tutor saya yang satu itu? Maksud saya, Jauza?"

Kekehan sungguh lolos dari bibir Hijir sekarang. Ia benar-benar sedang menertawai diri sendiri. Sembari kepalanya tertunduk dalam, air mata Hijir menggenang. Apa sudah sedalam itu? Memang, ia belum pernah kagum pada perempuan mana pun selain ibunya. Hanya Jauza.

Ia kembali mengangkat wajah. Mata lelaki itu merah, tetapi senyum paksa masih tersungging di bibirnya. "Maaf, saya permisi. Terima kasih informasinya."

Setelah Hijir meninggalkan Ansa dan Rita, keduanya sama-sama menghela napas panjang sembari meemjamkan mata.

"Anak itu memakan korban lagi."

-o0o-

Part terpendek. Btw, baru sempet up setelah seharian HP dipegang sepupu.

Wish you enjoy dan seperti biasa, double up.

Amaranteya

11th of September 2021

Ujung Tirani (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang