12. Under The Rain

157 50 5
                                    

"Katakan saja kalau kamu menggunakan internet untuk menjawab pertanyaanku." Zaa mengaduk minumannya perlahan.

Lelaki di seberang meja menghela napas panjang. Kedua tangannya yang bertumpu di atas meja mengepal, sengaja dibiarkan begitu agar Zaa melihat.

Benar saja, Zaa terkekeh. Perempuan itu lantas mengangkat kepala. Punggungnya sudah bersandar pada kursi kafe yang diduduki.

Sore yang mendung, aroma kopi, juga suasana retro yang kental menemani keduanya saat ini. Setelah Tamam berhasil menjawab pertanyaannya sebelum zuhur tadi, mau tak mau Zaa harus menepati janji untuk bertemu. Karena itu pula, Zaa harus kembali mengendap keluar pesantren.

"Kalau gue bilang nggak, lo percaya?" tanya Tamam, membuat Zaa mengedikkan bahu. "Udah gue duga. Lo pasti nggak mau ambil pusing buat percaya atau nggak sama orang lain."

Mendengar itu, Zaa terkekeh. Dilipatnya tangan di depan tubuh, matanya masih fokus menatap lelaki berkaos putih di hadapannya.

"Lo lupa kalau gue mantan anak pesantren? Kisah-kisah kayak gitu pasti pernah gue denger di pesantren, meskipun cuma sekali seumur hidup. Kuburan, paus yang nelen Nabi Yunus. Angka, 2850. Dua pertanyaan yang sama-sama berhasil dijawab Khalifah Ali bin Abi Thalib. Seengaknya gue ada effort buat coba inget jawaban itu semaleman."

Zaa semakin terkekeh dibuatnya. Benar-benar menggelikan.

Tidak seperti kemarin, kali ini Tamam lebih santai melihat Zaa tak berjilbab. Ia tidak ingin memancing perempuan itu lagi.

"Jadi, apa yang mau kamu bicarain?" tanya Zaa.

Tamam ikut menyandarkan punggung. Ia sempat mengembuskan napas panjang sebelum membalas, "Banyak. Banyak banget, Laf."

"Can you call me Zaa now? Aku nggak suka sama panggilan itu sekarang." Mata Zaa memicing.

Tentu saja Tamam mengangguk.

"Gimana lo bisa di sini sekarang? Kabar terakhir yang gue denger, lo buka les privat sendiri."

"No! Sempat memang, hanya sebentar sebelum aku sekeluarga pindah ke daerah ini. As you see, aku ngajar di lembaga tempat Tsabitul Asdaq ngadain kerja sama." Zaa meraih cangkir kopi miliknya dan menyesap cairan hitam itu perlahan. Bersamaan dengan itu, rintik mulai turun.

Jendela kaca besar di samping keduanya basah. Titik-titik air berkumpul sebelum meluncur jatuh. Beberapa lama suasana pun hening, tak ada pembicaraan. Hanya suara hujan yang menderas.

Tamam sengaja membiarkan Zaa memandangi hujan setelah perempuan itu meletakkan cangkir kopinya. Lagi-lagi, ia terbawa memori. Ia hafal betul, dulu Zaa tidak menyukai hujan. Namun tampaknya, sekarang berubah.

Seakan diperlambat, Tamam jelas melihat segurat senyum perlahan terbit di bibir pucat perempuan itu. Hal itu mau tak mau mengundang senyum pemuda itu untuk terbit jua.

"Tuhan sedang bercengkerama langsung dengan makhluk-Nya." Perkataan tiba-tiba Zaa membuyarkan Tamam.

Lelaki itu ikut memandang luar seketika, membiarkan netranya menangkap sekumpulan orang yang berteduh di emperan toko seberang jalan.

Saat Zaa kembali fokus pada Tamam, lelaki itu juga melakukan hal yang sama.

"Keberatan jika aku meminta sesuatu?" Sebelah alis Zaa terangkat. Tak ada apa pun yang bisa Tamam tebak dari sorot matanya.

-o0o-

Berulang kali Tamam merutuki dirinya sendiri karena menuruti Zaa. Bagaimana tidak? Lihat saja dua orang yang sudah basah kuyup itu. Tamam bahkan hampir menggigil dibuatnya, sementara Zaa masih tampak santai dengan senyum yang tak juga luntur.

Ujung Tirani (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang