29. A Half of Truth

Start from the beginning
                                    

Tak ada yang bisa mereka lakukan, selain mendoakan beberapa orang yang berpulang, juga mereka yang masih terbaring tak sadarkan diri di ranjang rumah sakit. Semua berduka, tak hanya keluarga, tetapi juga para santri dan santriwati yang pernah diajar masing-masing korban.

Ansa selamat dengan kaki kanan harus diamputasi. Hikam lebih beruntung lagi, ia hanya mendapat beberapa jahitan di kepala dan diperbolehkan pulang setelah tiga hari di rumah sakit. Zaa dan Hijir, entahlah. Keduanya masih sama-sama koma dengan keadaan banyak alat terpasang di tubuh masing-masing.

Meskipun kondisi Hijir tak terlalu mengkhawatirkan saat dievakuasi, tetapi lelaki itu mengalami trauma otak yang cukup membuatnya koma.

Sementara itu, kondisi Zaa ... belum ada kabar baik untuk itu.

Di hari kesepuluh, Hijir membuka matanya. Kedua orang tua lelaki itu yang pertama dilihat. Juga, Hikam dan kiai pondok.

Baru membuka mata, satu kata yang diucapkan Hijir adalah Jauza. Setelahnya, ia kukuh ingin melihat kondisi perempuan itu. "Hijir mohon, izinkan Hijir."

Seharian itu, Hijir benar-benar memohon untuk melihat keadaan Zaa. Namun, tetap tidak diizinkan.

Menjelang magrib, Rita yang masih berjalan mengenakan tongkat masuk ke ruang rawat lelaki itu.

"Apa kabar, Ustadz?" Senyum lebar perempuan itu layangkan.

Hijir hanya membalas dengan senyuman. Sedang, pandangannya kosong.

Sekali Rita mengembuskan napas panjang. "Zaa masih koma, tapi Ustadz Hijir tenang saja. Doakan yang terbaik untuk Zaa. Saya ke sini mau menyampaikan amanat."

Rita mengeluarkan sebuah amplop yang sudah cukup lusuh dari dalam tas dan mengangsurkannya pada Hijir. "Zaa memberikan ini pada saya waktu di dalam bus. Malam sebelumnya, saya melihatnya menulis ini dengan ekspresi bingung. Mungkin karena dia tidak tahu caranya menyampaikan sesuatu pada Ustadz Hijir, makanya dia memilih menulisnya."

Hijir menerima uluran amplop itu dan membuka isinya. Dua lembar kertas dengan tulisan tegak bersambung di atasnya. Perlahan, disusuri kata demi kata yang ada. Sesak, dada Hijir sesak, tak tahu harus merespons apa dan bagaimana.

"Terakhir saya memohon, boleh saya melihat kondisi Zaa? Saya mohon."

Sungguh, Rita tak tega. Setelah mengangguk, perempuan itu sebisa mungkin membujuk keluarga Hijir agar memperbolehkan lelaki itu. Berhasil.

Didorong Hikam yang juga ada di sana, ia menyambangi ruang di mana Zaa dirawat. Dari balik jendela ICU, Hijir dapat dengan jelas melihat Zaa. Selang-selang terhubung pada tubuh perempuan itu.

"Sadar, Zaa. Aku perlu penjelasan langsung dari kamu, bukan melalui surat. Aku akan terima apa pun itu, tapi aku mohon, bangun."

Tak lama, remaja lelaki menghampiri keduanya. "Maaf, Mas berdua ini temannya Mbak Zaa?"

Hikam dan Hijir mengangguk bersamaan.

"Kenalin, saya Laith, adiknya Mbak Zaa." Laith lantas beralih fokus pada Hijir. "Mas ini ... Mas Hijir, bukan?"

Kembali Hijir mengangguk. Bagaimana anak itu tahu?

Ujung Tirani (Completed)Where stories live. Discover now