Rindang pohon di atas sana menghalangi pandangan perempuan itu dari langit malam. Namun, ia masih bisa melihat gemintang saat mengarahkan tatapan ke ruang terbuka atas telaga, pun pantulannya di permukaan air.

Embusan napas panjang lolos dari bibir Zaa. "Aku nggak tahu harus senang atau bingung sekarang."

Perempuan itu bangkit dan beranjak ke arah telaga. Dilangkahkannya kaki ke jembatan bambu yang menjorok ke perairan itu. Sampai di ujung, Zaa merentangkan tangan dan memejamkan mata. Dirasakannya embus angin malam itu.

Dersik dedaunan, riak tipis air, juga desau angin yang bergesekan dengan ranting kering memenuhi indra pedengaran Zaa. Melodi alam sukses membawa perempuan itu mulai bergerak. Semula hanya tangannya yang melambai pelan, kepala, hingga akhirnya tubuhnya ikut menari.

Abstrak, tidak ada tarian tertentu yang dilakukan Zaa. Perempuan itu hanya mengikuti irama yang diciptakan angin dalam pejaman matanya. Beberapa kali kakinya menyentuh pinggiran jembatan, tetapi semua tetap baik-baik saja. Ia bak wayang yang dikendalikan dalang tak kasat mata, terus menari dengan mata tak terbuka sama sekali.

Jauh dari sana, Hijir diam-diam memperhatikan Zaa. "Apa yang dia lakukan?"

Lelaki itu tak berniat mendekat, hanya mengamati Zaa yang mulai berputar. Entah kenapa, Zaa tampak sangat menikmati gerakannya dan Hijir jelas menangkap itu.

Sepuluh menit lamanya Zaa melakukan aktivitas yang sama dan Hijir tetap memperhatikan. Dari kejauhan, lelaki itu melihat napas Zaa semakin memburu. Perempuan tersebut tampak kelelahan. Dengan langkah cepat Hijir menghampirinya.

Tepat saat akan menginjak rangkaian bambu, Zaa berhenti. Ia menghadapkan tubuh ke arah Hijir, tetapi tak sedikit pun membuka matanya.

"Berhenti di sana, Hijir."

Lelaki itu melotot, Zaa sadar itu dia.

Perempuan itu tak jua membuka mata. Meski napasnya ngos-ngosan, tetapi senyum lebar tersungging di bibir perempuan itu. Ekspresi bingung sebelumnya seketika raib, Zaa dengan cepat menguasai diri.

"Bukankah ini hidup yang lucu, Hijir?"

Hijir semakin tak mengerti. Kenapa sebenarnya Zaa?

"Dan sayangnya, aku sangat menikmatinya. Semua hal memang perlu ditertawakan, termasuk kesedihan, perpisahan, juga kematian. Hidup ini benar-benar lucu."

Tepat setelah kata terakhir terlontar, Zaa menjatuhkan diri ke belakang, menceburkan dirinya ke dinginnya air telaga.

Suara Zaa yang menghantam air sukses membuat jantung Hijir berdetak cepat.

"Zaa!" Hijir berlari dengan mata membulat sempurna. Sampai di ujung jembatan bambu dan berlutut di sana, Hijir baru bisa bernapas lega.

Dengan mata terbuka, Zaa membiarkan tubuhnya mengambang di sana. Senyum geli perempuan itu terbit melihat Hijir dengan tampang paniknya, bahkan ada sebulir keringat di pelipis lelaki itu yang dapat Zaa tangkap.

"Aku nggak sebodoh itu, Hijir. Aku mungkin nggak bisa berenang, tapi aku bisa mengambang dengan sangat baik." Tawa perempuan itu berderai.

Hijir tak habis pikir. Ia sudah panik setengah mati, tetapi Zaa menanggapi dengan sangat santai. Apa kira-kira yang dipikirkan perempuan itu? Menceburkan diri ke air telaga yang dingin, malam-malam begini? Siapa yang akan menduga bahwa ia malah menikmatinya.

"Sebaiknya kamu menepi sekarang, Zaa. Telaga ini tidak sedangkal yang kamu kira." Perkataan itu sama sekali tak mengundang kecemasan di wajah Zaa.

"Buat apa aku takut? Ada kamu, kan?" Zaa menggerakkan kaki, menghentak air perlahan untuk bergerak. Benar, dibanding hanya mengambang, sebenarnya Zaa bisa lebih disebut tengah berenang, meski dengan gayanya sendiri.

Kembali Hijir menggelengkan kepala pelan.

Lima menit Zaa terus di posisi seperti itu sampai akhirnya mendekat ke penyangga jembatan bambu. Ia mulai mengurai posisi telentang dengan mengaitkan tangan ke pinggiran tempat Hijir duduk. Bisa ditebak, kakinya tak menapak dasar. Benar kata Hijir, telaga itu terbilang dalam.

"Minggir."

Mendengar itu, Hijir pun menurut. Ia membiarkan Zaa mengeluarkan diri dari dalam telaga dengan menumpu tangan di tempat ia duduk tadi.

Tentu saja, basah kuyub. Untungnya, ini malam hari dan Zaa mengenakan pakaian hitam. Jadi, seharusnya itu tak akan menjadi masalah, meski ada Hijir di sana.

"Kenapa kamu begitu nekat?" tanya Hijir. Ia menatap Zaa dalam.

Kembali Zaa terkekeh. Ia masih sangat santai mengatasi pertanyaan-pertanyaan Hijir. "Aku nggak nekat, aku berusaha tenang. Lagi pula, aku sudah bilang, ada kamu. Kamu nggak akan biarin aku tenggelam, kan?"

Hijir mendengus. "Jangan konyol, aku juga tidak bisa berenang."

Keduanya berakhir dengan tergelak bersama di bawah sinar luna malam itu.

Dalam hati, Hijir berbisik, "Bisakah waktu berhenti saat ini, Zaa?"

-o0o-

Guys, buat yang tahu nama semacam "jembatan" yang aku maksud, please tell me. Lupa namanya, jadi kutulis jembatan aja😭 Salah banget padahal.

6 parts left. Tiga hari lagi kelar.

Wish you enjoy.

Amaranteya

12th of September 2021

Ujung Tirani (Completed)Where stories live. Discover now