Bagian 10. Pingsan

20.1K 2K 56
                                    


Lavina membuka pintu kamar nona muda. Sudah menjadi tugasnya setiap pagi membangunkan Nona Myra. Tak lupa juga membuka gorden agar sinar matahari masuk.

Lavina memandang nona yang selama ini ia layani. Sejak mimisan sering terjadi, wajah Nona Myra selalu terlihat pucat. Untuk mengatasi itu Lavina harus meriasnya, terutama di bagian bibir

Lavina kemudian menangkupkan kedua tangan didepan dada, berdoa memohon untuk kebahagiaan dan kesehatan sang nona

"Nona bangun" Lavina sedikit menggoyangkan pundak Myra

Tidak ada respon

"Nona bangun, sudah pagi"

Nona Myra sama sekali tidak bergerak

"Nona tolong bangun, nona bisa telat sarapan" kali ini Lavina menggoyang kuat pundak Myra. Jantung Lavina berdegup keras. pikirannya mulai menduga hal-hal yang buruk

"N-nona" dengan gemetar Lavina kembali menggoyangkan pundak Myra. Berharap pemikirannya salah. Semoga ini karena nona muda hanya ingin menjahilinya

Tapi tetap tak ada respon. Nonanya tidak membuka mata. Hal ini membuat Lavina dilanda kepanikan. dengan segera ia berlari keluar mencari sang dokter keluarga, Jane

.

.

.

Sang Kepala keluarga Carolus, Bashan, berdiri memandang Myra yang sedang berbaring tidak sadarkan diri. Kabar tentang Myra yang tidak sadarkan diri membuatnya buru-buru datang.

Jika sedang dalam keadaan tertidur, Bashan dapat melihat rupa Myra yang mirip dengan istri yang ia cintai hingga sekarang, Adeline. Hanya warna mata Myra yang mirip dengannya.

Anak kita cantik kan sayang

Kata yang pernah diucapkan oleh Adeline sesaat setelah melahirkan Myra.

"Seandainya kita bisa membesarkannya bersama.."

Adeline menimang bayi yang baru saja ia lahirkan. Sang bayi yang kecil dan masih merah terlihat rapuh baginya. Sangat berbeda dengan Ronald yang saat lahir memiliki bobot tergolong berat.

Adeline tersenyum saat sang bayi menguap lebar. Anak perempuan yang manis. Bayi yang selalu Adeline nantikan. Tak peduli nyawa yang jadi taruhannya

Adeline merasa pusing, ia dapat merasakan sesuatu yang terus keluar dari bawah. Adeline tidak bisa mengecek, ada Bashan didepannya, ia tak ingin suaminya khawatir. Tubuhnya terasa capek dan berat, ia mulai merasa mengantuk

"Bashan coba gendong dia" Adeline membuat gestur untuk menyuruh Bashan mendekat. Secara perlahan sang bayi berpindah tangan ke ayah

"Cantikkan?" Adeline tersenyum, "Lihat bayinya dong, bukan aku" Adeline tertawa

"Kau baik-baik saja?"

"Tentu" Adeline menatap Bashan, "Maukah kau berjanji padaku? Jaga dia disaat aku pergi"

"Kau tak akan pergi kemanapun"

"Iya aku tahu, memang aku mau pergi kemana? tapi berjanjilah Bashan"

"Iya" Bashan melanjutkan, "Adeline, Kau pucat. Aku akan panggil dokter"

"Iya"

Mengapa saat itu Adeline tidak mengatakan apapun?. Kondisi Adeline diperparah dengan pendarahan hebat. Saat itu kasur yang ditempati Adeline dipenuhi oleh darah. Saat itu juga dirinya terakhir kali menggendong Myra.

Kali ini dihadapannya Myra sedang tak sadarkan diri, tak tahu kapan akan siuman. Sama seperti Adeline dimasa lalu yang dirinya kira hanya sedang tertidur.

Apakah putrinya juga akan pergi?

Bashan mengusap pipi Myra, buah hatinya dengan Adeline. Kenapa dirinya baru ingat akan janji itu?

Lavina berdiri agak jauh dari tempat tidur, sengaja untuk memberi jarak antara nona muda dengan ayah kandung nona. Lavina ikut merasakan sedih, dimatanya Tuan Carolus saat ini terlihat sendu.

Lavina lebih memilih memandang lantai. Sedari tadi air mata ingin sekali keluar, pemandangan di depannya membuatnya ingin menangis

Nano yang setia ia layani sedang terbaring menutup mata di ranjang tempat tidur. Wajah yang pucat membuat kesan kalau hanya raga yang berada disana.

Bagaimana tidak akan bangun?

Lavina mengusap kasar air mata yang tidak bisa ditahan. 'Tidak nona pasti akan pulih'

Ditengah sibuk dengan pemikirannya, suara pintu yang didorong terbuka terdengar. Lavina sedikit menggeser tubuhnya agar tak terkena pintu. 

Ronald, sang tuan muda berdiam diri di dekat pintu menatap interaksi ayah ke Myra.

Ronald kecil melihat keributan di dalam ruangan kamar sang ibu. Dari luar sini ia dapat mendengar suara teriakan sang ayah. Para pelayan yang diluar berbisik-bisik, ada yang terlihat khawatir dan sebagian menangis.

Ronald kecil mendekat, bermaksud masuk ke dalam untuk melihat apa yang terjadi. Ekspresi yang ditunjukkan para membuatnya gelisah.

"Tuan muda sedang apa disini? bagaimana dengan pelajaran anda? apakah sudah selesai?" salah satu pelayan memegang tangan Ronald, bermaksud membawa sang tuan muda menjauh dari kamar Nyonya besar

" Aku mau masuk. Mau lihat mama" Ronald menghempaskan tangan sang pelayan dan segera masuk kedalam

Ayah yang biasa terlihat gagah kini seperti bunga layu. Sang ayah memeluk ibu dengan air mata yang terus keluar. Kesedihan dan suara tangisan membuatnya ikut merasakan sedih.

Ibunya terus menutup mata dan tak menjawab rancauan sang ayah. Ditambah tubuh sang ibu tak bergerak membuat otaknya menyimpulkan satu hal, kematian

Ronald bukan anak kecil yang bodoh. Bau amis juga masuk menusuk indra penciumannya, memperjelas kalau ibunya meninggal

"Bawa dia keluar!! aku muak dengan tangisannya!" Ayah menatap sang bayi yang digendong pelayan, "kenapa tidak kau saja yang mati, kenapa harus istriku"

Ronald kecil memandang sosok kecil yang masih menangis. Jadi dia yang menyebabkan ibu meninggal

Memori tentang saat kematian ibu berputar. Ayah yang tampak terpukul membuatnya kembali mengingat ekspresi ayah saat ibu sudah tak bernyawa. Bedanya saat ini ayah tak menangis


Tbc

Second lifeWhere stories live. Discover now