4. Imperfect Islamization

Mulai dari awal
                                    

Tak memakan waktu lama, perkenalan sepuluh anak itu terbilang singkat. Dari perkenalan itu pula, Zaa menemukan kelebihan masing-masing. Musa dengan pronunciation yang 80 persen tepat, tiga anak lain dengan percaya diri cukup mumpuni, tiga anak lagi tidak takut salah, dan tiga sisanya lumayan mengejutkan. Aksen British mereka cukup kental. Zaa yakin, mereka akan benar-benar bisa menjadi out-standing dibanding yang lain. Perlu pematangan gramatikal saja.

"Let's do what I did before. Ingat baik-baik, subjek 'she, he, dan singular' suka dengan 'S'." Zaa mulai menunjuk dirinya sendiri, berganti menunjuk yang lain sebagai isyarat subjek. "I speak English, you speak English, we speak English, they speak English, she speaks English, he speaks English."

Kalimat-kalimat itu terus mereka ulangi hingga tujuh kali. Beberapa kali kelompok lain melihat mereka dengan heran saking hebohnya kelompok tersebut. Tanpa sadar pula, tutor lain menjadikan kelompok yang Zaa ampu menjadi penyemangat untuk anak didiknya.

Di sudut lain, Hikam terperangah. Melihat bagaimana Zaa yang sepertinya berhasil menyulut semangat anak-anak itu membuatnya tak percaya.

Lelaki itu lantas berjalan ke arah Hijir duduk. "Kamu lihat, powerful banget ya, mereka?"

Hijir mendongak, menatap sang kawan dengan alis terangkat sebelah. Tak lama ia beralih menatap ke arah Zaa dan kelompoknya duduk lesehan.

"Great! Bagus, dong?"

Hikam dan Hijir berakhir dengan memandangi kelompok yang sama hingga sesi itu berakhir.

Saat para santri dan santriwati bubar dan bersiap jamaah Zuhur, Hijir kembali dibuat penasaran oleh Zaa yang justru pergi ke arah halaman belakang pondok, tempat di mana terdapat telaga. Sepertinya, Zaa sudah mengetahui tempat itu, tampak jelas jika langkah gadis tersebut mantap tanpa keraguan.

Ia mengikuti Zaa tanpa sadar. Sungguh, ia benar-benar seperti penguntit sekarang.

Di bangku yang terbuat dari bambu itu Zaa duduk. Ia memangku sebuah buku tebal. Hijir sendiri sangsi dari mana Zaa mendapatkannya. Mungkin ia memang sudah meletakkan buku itu di sana sebelumnya.

Setelah membuka banyak halaman, Zaa mulai fokus membaca, membuat sekeliling lebur, menjadikan siang itu garib di mata Hijir.

Kembali, tanpa sadar, Hijir mendekat. Ia seolah dipaksa kehilangan waras setelah tak sengaja melihat sampulnya samar.

"Weda?" tanya Hijir saat berada tepat di depan Zaa.

Sontak gadis itu mendongak dengan ekspresi terkejut. Mendapati Hijir di sana benar-benar sebuah kejutan, bukan?

Ditemani angin yang berembus lembut, ujung jilbab hitam Zaa berkibar pelan. Juga matahari yang tepat berada di atas kepala, membuat bayang raib seketika, pun rindang akasia yang jadi penyebab utamanya, Hijir terhenyak sepenuhnya.

Zaa berhasil menguasai air muka. "Hanya bagian terakhir. Nggak persiapan jamaah?"

Hijir masih diam, berusaha menetralkan gejolak yang tiba-tiba muncul entah kenapa. Apa secepat itu ia mengagumi sosok Zaa?

"Masih ada waktu sebelum azan," jawab Hijir pada akhirnya.

Anggukan kepala diberikan Zaa. Ia lantas kembali pada buku, kali ini bukan lanjut membaca, tetapi menutupnya. Tidak nyaman rasanya membaca saat ada orang lain memperhatikan.

Entah apa pula yang dipikirkan Hijir sekarang, tiba-tiba ia melontarkan pertanyaan tak terduga pada Zaa, "Menurutmu, apa akibatnya jika Islamisasi dilakukan secara tidak sempurna?"

Sebelah alis Zaa otomatis terangkat. Apa lelaki itu sedang memancingnya?

Belum sempat mempersilakan Hijir untuk duduk, pemuda itu sudah lebih dulu mendekat ke arah telaga. Ia membungkuk sejenak untuk meraih kerikil lantas kembali berdiri dan melemparnya ke air kehijauan tersebut.

Mau tak mau, Zaa ikut berdiri dan mendekat. "Adanya sejarah."

Mendengar jawaban singkat itu, Hijir menoleh.

"Andai semua mau di-Islamkan, di-Kristenkan, atau di-di yang lain, maka tidak akan ada sejarah berbelit yang perlu diajarkan dalam dunia pendidikan." Zaa mengikuti apa yang dilakukan Hijir sebelumnya, mengambil kerikil dan melemparnya jauh.

"Bukan, bukan itu yang kumaksud." Lelaki tersebut menunduk dalam. "Islam terpecah, memberikan upeti secara sukarela pada kerajaan Kristen, membuat Kristen menguat. Budaya-budaya Arab yang diakultursi orang Kristen Spanyol membuat mereka semakin kuat. Setelahnya, Islam semakin kocar-kacir."

Pandangan Zaa jauh menerawang, agaknya ia merasa tidak asing dengan apa yang dibicarakan lelaki di sampingnya.

"Tunggu!" Zaa menoleh cepat ke arah Hijir, bersamaan dengan lelaki itu yang juga menatapnya. "Apa kamu sedang membicarakan runtuhnya Dinasti Umayyah Andalusia?"

Mata Hijir membulat, Zaa tahu?

"Dari responsmu, kurasa aku benar." Zaa memasukkan sebelah tangannya yang bebas dari buku ke dalam saku rok. "Jadi, siapa yang salah? Islam yang berusaha mempertahankan hasil penaklukan itu? Atau mereka yang berusaha mempertahankan Kristen di tanah Andalusia? Sebutan lebih tepatnya ... ah, reconquista, penaklukan kembali."

Hening sejenak. Jika Hijir masih terkejut, lain halnya dengan Zaa yang mulai mengeluarkan kekehan.

"Lagi-lagi tentang opini. Iya, memang. Karena Islamisasi dilakukan seadanya dan terkesan sembrono menurutku, Islam jadi lengah, naif. Akibatnya, diam-diam Kristen menguat. Akhirnya, seperti yang kamu bilang, kocar-kacir, meski bukan itu satu-satunya faktor. Yang semula bersatu, terpecah."

Zaa memutuskan duduk di rerumputan, malas sendiri jika berdiri lama-lama.

"Kota-kota basis Islam juga saling berseteru. Sevilla, Toledo, Cordoba. Pada akhirnya mereka bersekutu dengan raja-raja Kristen untuk melawan satu sama lain. Castilla, Naver, Leon. Bukankah itu kisah yang tragis, Hijir? Awal kebinasaan Islam di tanah Andalus." lanjut Zaa.

Hijir masih diam. Ia sungguh dibuat bungkam oleh Zaa yang tidak terduga. Sejauh apa gadis itu tahu?

Tak lama, azan Zuhur berkumandang. Zaa mendongak. "Sebelum kamu pergi, aku mau tanya. Apa hubungan antara Weda yang kubaca dengan pertanyaanmu itu? Aku yakin pertanyaanmu ada, karena melihatku membaca ini."

Tak seperti biasa, Hijir kelimpungan kali ini. Tak tahu bagaimana menjelaskan maksudnya pada Zaa. Lebih tepatnya, ia takut.

"Ngomong aja," pinta Zaa.

"Bagaimana ... jika aku bisa melakukan Islamisasi dengan sempurna? Setidaknya di lingkungan terkecilku. Padamu, misal." Akhirnya, kalimat yang sejak tadi tertahan, lolos begitu saja.

Bukannya jawaban pasti, Zaa justru membiarkan pertanyaan itu menggantung dengan tawa berderai.

Disaksikan kilau telaga di bawah terpa mentari, Zuhur siang itu, semakin garib di mata Hijir.

-o0o-

Em ... cuma mau bilang, jangan ragu buat komen kalau nemu kesalahan sekecil apa pun. Itung-itung bantu aku nambahin catetan buat revisi nanti setelah tamat.

Selamat berhari Senin.

Amaranteya

30th of August 2021

Ujung Tirani (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang