3. The Piece of Bhagavadgita

Mulai dari awal
                                    

Hikam dan Hijir mengangguk bersamaan.

"Apa ada masalah?" tanya Hijir hati-hati.

Seakan ingat tujuannya menyapa, Zaa segera berkata, "Aku nggak suka sama pembagian kelompoknya."

Sentakan langsung itu mencubit hati dua pemuda di depan Zaa. Mereka berdua kembali dikejutkan dengan perkataan tanpa tedeng aling-aling perempuan tersebut. Sangat to the point.

"Alasannya?" Sebelah alis Hijir terangkat. Kertas berisi data santri di tangan kanan beralih ke tangan kiri.

"Berbeda itu bagus, tapi pembedaan kadang dibutuhkan. Dengan kalian menggabungkan anak dengan kemampuan yang masih perlu bimbingan ekstra dengan anak yang ibaratnya tinggal memoles, kalian hanya akan menciptakan gap yang sangat kentara antara si bisa dan si belum bisa dalam satu kelompok itu. Juga, pengaturan kelompok semacam itu tidak akan efektif serta menyulitkan tutor dalam pemberian materi. Kami akan kesulitan menyeimbangkan mereka dalam satu waktu."

Sorot tak suka langsung dilayangkan Hikam, sementara Hijir masih mencoba mencari sisi benar dalam kalimat perempuan itu.

"Jika kita membuat si pintar dalam satu kelompok dan si bodoh dalam satu kelompok, justru si bodoh akan lebih dulu merasa hopeless karena merasa dibedakan. Apa lagi kita akan mengadakan semacam perlombaan antarkelompok." Hikam menyahut dengan nada berapi-api. Rasa kagum lelaki itu tampaknya langsung menguap setelah mendengar statement Zaa.

Bukannya terpancing, Zaa justru mengeluarkan senyum miring, persis seperti yang dilihat kedua penuda itu kemarin.

"Pertama, aku nggak suka ada guru yang menjatuhkan statement bodoh pada anak didiknya. Itu sebabnya aku menggunakan kata si bisa dan belum bisa.

"Kedua, aku nggak mau banyak omong masalah ini. Cukup buat kelompok baru dengan mengambil beberapa anak yang kamu anggap 'bodoh' itu, dan biarkan aku yang membimbing mereka. Kita lihat hasilnya nanti setelah program selesai."

Kalimat lugas yang terlontar dari bibir Zaa sukses membuat baik Hikam maupun Hijir bungkam. Mereka sadar ada kobar amarah dalam sorot mata perempuan itu.

"Aku tunggu data anak-anak itu sampai nanti sore." Zaa pergi dari sana dengan tangan mengepal. Demi apa pun, selama ia mengajar, tidak pernah sekali pun ia menyebut anak didiknya dengan sebutan bodoh. Pantang baginya mengucapkan kata itu. Bukannya perkataan sebagian dari doa?

-o0o-

Kegiatan hari pertama masih sangat lancar, mengingat agenda hari ini hanya perkenalan satu sama lain serta membentuk kepengurusan kelompok.

Menjelang magrib, Hijir benar-benar menyerahkan data siswa yang diminta Zaa. Setelah mengucapkan terima kasih tanpa basa-basi, Zaa langsung berlalu.

"Bagaimana sebenarnya cara berpikir perempuan itu, Tadz?"

Hijir menoleh pada Hikam yang masih memandangi kepergian Zaa dengan dahi berkerut.

"Sudah berapa kali aku bilang, panggil Hijir saja kalau cuma berdua. Kita seumuran, Kam," protes Hijir. Kembali dia mengarahkan pandangan ke depan. Banyak santri yang mulai berdatangan untuk melaksanakan jamaah salat Magrib di masjid, tepat di belakang mereka. "Aku juga tidak tahu bagaimana dia berpikir."

Tepukan mampir di pundak Hijir, membuatnya kembali menoleh.

"Dia nggak salat? Kok malah pergi lagi setelah menerima data santri." Pangkal-pangkal alis Hikam tertaut bersamaan dengan dilipatnya kedua tangan di depan dada.

"Mungkin sedang uzur, tapi ... sebenarnya aku ragu, Kam." Raut bingung semakin jelas di wajah Hijir meski sinar mentari mulai redup. "Apa sebelumnya pernah ada tutor nonmuslim yang ikut kegiatan ini?"

Hikam terhenyak mendengar itu. Ia juga menyadari satu hal, quote Mahatma Gandhi yang dengan fasih dilafalkan Zaa. Meski bukan tolak ukur, tetapi tetap saja Hikam berpikir demikian.

"Dia ... misal dia non, kenapa pakai jilbab? Di perkenalan tadi, dia juga bilang namanya Jauza. Sangat Islami," tanya Hikam.

"Mungkin sebagai bentuk menghargai dan nama bukan tolak ukur. Kamu tahu yang membuatku berpikir begitu?" Pertanyaan itu membuat Hikam menggeleng. "Saat aku bilang ada insiden kemarin, sebenarnya melibatkan dia juga. Dia dengan lugas dan mantap mengucapkan kalimat yang aku yakin, berasal dari kitab umat Hindu, lengkap dengan terjemahnya."

Bibir Hikam membulat sempurna. Lipatan tangannya pun ikut terlepas.

"Ah ... sudahlah, kita jadi bergosip, astaghfirullah. Ayo ke masjid, anak-anak sudah berkumpul," ajak Hijir.

Sementara di kamar yang ditempati Zaa, perempuan itu berkutat dengan data santri yang baru diterimanya dari Hijir. Ada sekitar sepuluh anak, lebih sedikit dibanding kelompok lain yang berjumlah dua belas anak per kelompoknya.

Zaa lantas beralih pada buku catatannya dan menuliskan beberapa poin penting yang akan ia lakukan pada anak-anak itu. Pada kata paling akhir, sengaja ia lingkari dengan pulpen berwarna merah. Suggestopedia. Ya, pendekatan yang akan ia lakukan adalah dengan menerapkan metode tersebut.

Teman tutornya bernama Rita yang baru masuk tiba-tiba berkata, "Loh Zaa, nggak ikut jamaah? Ayo bareng aku, mumpung masih azan."

Zaa sontak menoleh dan mendapati perempuan dengan wajah basah itu. Sepertinya, Rita baru saja mengambil air wudu.

Bukannya menjawab, Zaa justru tersenyum simpul lebih dulu. Diberikannya sebuah jempol sambil meringis setelahnya. "Duluan aja, Mbak."

Rita menggeleng pelan. Biarlah, lagi pula ia memang tidak begitu dekat dengan Zaa, ia tidak tahu bagaimana perempuan itu. Tak mau terlambat, Rita bergegas ke masjid setelah meraih mukena dan meninggalkan Zaa sendirian di kamar itu.

Sesaat setelah Rita pergi, segera Zaa mengambil sebuah buku yang sudah disimpannya dalam laci. Di sampul hitamnya tertulis, "Bhagavadgita". Itu adalah satu dari sekian versi yang sudah dimiliki oleh Zaa di rumahnya.

Nyanyian Tuhan, begitu yang Zaa pahami di balik makna Bhadawadgita. Hakikat segala pengetahuan Weda, bagian terakhir dari Weda, ajaran Shri Krishna pada Arjuna, ketika Arjuna berada dalam keraguan di medan pertempuran Kurusetra antara Pandawa dan Kurawa.

Dibukanya bab XII, terakhir kali ia meninggalkan bacaannya. Rasa penasarannya akan Iswara, Saguna, juga Nirguna membawa Zaa berpetualang jauh ke kitab terjemahan tersebut.

Seloka demi seloka dibacanya cermat, tanpa tertinggal satu kata pun. Berbeda lagi jika Zaa membaca novel, ia bisa dengan mudah melewati tiga paragraf utuh tanpa dibaca. Membosankan baginya.

Membaca rentetan kalimat itu, membuat Zaa ingat sesuatu. Awalokiteswara, bodhisatwa yang paling dimuliakan dalam aliran Buddha Mahayana, perwujudan tertingga sifat welas asih.

"Kenapa masih banyak orang berperang karena agama? Padahal dari semua kitab suci yang sudah kupelajari, yang mereka ajarkan sama, cinta kasih." Zaa menghela napas berat. Melihat jam di pergelangan tangan kanannya, perempuan itu langsung menutup kitab setelah memberinya pembatas. Ia harus bergegas ke aula untuk mempersiapkan kegiatan untuk lepas isya nanti.

-o0o-

Suggestopedia, the method that I like to use when teaching. Ah ... lil bit reminder, setelah part ini, akan mulai banyak something ke depannya.

Wish you enjoy.

Btw, 2/3 cerita ini sudah kuselesaikan. Jadi, update kemungkinan nggak akan tersendat.

Amaranteya

28th August 2021

Ujung Tirani (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang