"Rumah kita bukannya ada ART, Tan?"

"Udah saya pecat!" jelas Dira membuat Adiva tercengang.

"Gak usah kaget begitu!" Dira mendorong kening Adiva ke belakang. "Rumah ada mesin cuci. Sekarang juga masih siang. Nanti malam kalau baju udah kering, sekalian setrika. Pokoknya pekerjaan rumah harus beres."

"Iya, Tan."

"Piring kotor juga dicuci." Dengan angkuh, kini Dira bersidekap di depan dada sembari mengetuk kaki di atas lantai. Wanita tua itu memberi perintah seolah ia adalah majikannya Adiva. Padahal Dira sama sekali tidak pernah menafkahi Adiva. Catat baik-baik.

"Ok. Ada lagi, Tan?"

"Hmmm." Sepertinya Dira merasa pekerjaan rumah yang ia berikan belum cukup. "Kamu tunggu bentar."

Wanita itu berjalan ke arah dapur kemudian kembali dengan sebuah baskom besar dan juga dua bungkus kacang. Dira membuka kacang merah dan kacang hijau kemudian mencampurinya. Apa lagi ini miskah? Belum cukup kerjaan Adiva?

"Kamu pisahin kacang merah sama kacang hijau ini," ucap Dira membuat mulut Adiva menganga lebar.

Arabelle yang dari tadi menyimak, menggeleng kepala atas tingkah Dira. Akhirnya ia protes. "Gabut amat, Ma."

Dira mengabaikan ucapan Arabelle. Wanita itu berdehem. "Ya udah. Kerjaan kamu itu aja. Sedikit doang. Semua harus beres hari ini." Usai mengucapkan itu, Dira beranjak berdiri.

"Tan ...." Adiva menggaruk tengkuk yang tidak gatal. "Ini misahin kacang merah sama kacang hijau gak bisa Diva lakukan. Buang waktu dan gak penting soalnya." Lagian sama aja, kan? Ujung-ujungnya juga dimasak.

"KAMU BERANI NGEBANTAH PERINTAH SAYA?" Tiba-tiba Dira meninggikan nada bicaranya. Dengan murka, ia mendorong Adiva kasar hingga Adiva tersungkur ke lantai.

Adiva meringis kesakitan. Kedua telapak tangannya tergores serpihan vas bunga di lantai. Adiva melihat kondisi telapak tangannya yang kini lecet-lecet berdarah. Pasti perih kalau nanti tersentuh air.

"Kamu." Dira berjongkok dan menjambak akar rambut Adiva hingga Adiva merintih kesakitan. "Dengarin, ya! Kamu gak jadi saya kasih makan. Selesaikan semua kerjaan, baru boleh makan!"

"Ta-tapi Tan--" Adiva menatap Dira ketakutan. "Diva harus makan dulu karena mau minum obat. Penyakit Diva kambuh."

"Saya gak peduli!" Dira melepas rambut Adiva dan beranjak berdiri.  "Justru karena penyakitmu yang banyak itu, kamu membebani keluarga kita!"

"KAMU HARUS TAU DIRI! DASAR ANAK BEBAN! MENYEBALKAN!"

Sebuah tendangan keras dari kaki Dira melayang ke perut Adiva.

Adiva meringis kesakitan. Ingin sekali Adiva melawan, tapi Adiva sadar diri. Semua yang dikatakan Dira benar.

Adiva memang sakit-sakitan dan menjadi beban keluarga. Namun, jika Adiva boleh ngeluh. Adiva ingin sekali mengeluh. Adiva sama sekali tidak minta diberi kondisi fisik yang lemah ini. Menjadi orang yang penyakitan, bukan kemauan Adiva.

Kenapa Dira tidak bisa memahaminya sedikit?

Adiva menatap Dira berkaca-kaca. Dira membalas tatapan itu dengan sinis.

ALVIVA (END)Место, где живут истории. Откройте их для себя