50 - Kania

576 130 49
                                    

50 


Silau.

Tangan Kania berjuang menghalau sinar yang mencatuk mata dan mendapati dirinya terbuai oleh memori dari masa lampau. Bukan jemari panjang yang membayangi pandangannya, melainkan jari-jari pendek agak gempal. Sejauh penglihatannya memandang adalah hamparan permadani hijau perkarangan belakang Kastil Seymour, tempat keluarganya menghabiskan sebagian besar liburan musim panas mereka. Pemandangan itu terlukis tanpa cacat, hidup beserta segala detail yang menjiwainya.

Bagaimana garis lembut awan sedikit mengabur pada langit biru. Bukit hijau, lembah asri menggantung di ujung horizon. Angin perlahan bertiup pada kelopak bunga-bunga berwarna cerah. Bunyi serangga musim panas menggesekkan sayapnya seperti tarikan pemain biola. Gemerisik aliran sungai kecil yang melintasi estat mereka. Serta kikik Daria muda menghampiri Kania, kaki telanjangnya kotor oleh lumpur entah.

Tetapi, ajakan Daria bukan tertuju kepadanya. "Esther! Airnya dingin!"

Kania memalingkan wajahnya, melihat Esther segera mengesampingkan novel bacaannya, melepaskan sepasang sepatu. Kemudian, kedua kakaknya melesat ke bantaran sungai itu, bergabung bersama Petra dan Caiden. Mulanya hanya mencelupkan kaki dan mengibas aliran air sejuk itu sebelum Daria menggagaskan permainan menyiprat. Keempatnya tertawa cekikikan, basah, dan berkilau.

"Apa aku tidak boleh bermain?" Kedua tangan Kania meraih pinggiran pakaian orangtuanya. Ayah di sisi kiri dan Ibu di sebelah satunya.

Ibu tersenyum, mengangkat pandangannya dari buku sketsa di tangan. Ia mendekatkan wajahnya pada milik Kania. Telunjuk Ibu usil menyentuh ujung hidungnya. "Bagaimana jika kita menunggu usiamu bertambah satu tahun ini, kemudian Ibu memutuskan apa kau boleh bermain atau tidak?"

Senyum mengembang di wajah Kania. Satu gigi depannya tanggal. "Baiklah!"

"Sementara menunggu ulang tahunmu," Ayah mengangkat Kania setinggi mungkin sampai-sampai ia mengira mampu menyentuh gugusan awan serupa kapas, "Ayah akan membawamu terbang!"

Ayah memutarnya, semilir angin menggelitik perut Kania dan ia tidak kuasa menahan tawa. Ia membentangkan kedua lengannya menyerupai kepakan sayap burung, berandai-andai ia memiliki kekuatan mengubah dirinya menjadi hewan apapun yang diinginkan. Ikan-ikan di sungai. Serigala yang melolong merindukan bulan. Kania tidak sabar menantikan ulang tahunnya. Menunggu kebebasannya.

Nyatanya, saat itu tidak pernah datang.

Kania samar-samar mengingat jari seseorang membuka matanya. Aroma steril nan bersih meruap ke dalam penciumannya. Orang itu mengarahkan cahaya lilin dekat penglihatannya, memeriksa kedua mata Kania. "Ia baik-baik saja, Yang Mulia, hanya saja masih di bawah pengaruh bius," ujarnya. "Kesadarannya berkabut."

Kania mengenali suara yang membalas. "Ia tidak boleh dibiarkan sadar sepanjang pelayaran kita ke Tanah Suci," itu William Waisenburg. "Tanpa wanita ini, sang Kaisar tidak akan menyerahkan cincin dengan mudah."

Sesungguhnya, di mana ia berada? Namun, rasionalitasnya seakan membaur pergi bersama kabut halusinasi. Ia bahkan tidak mampu mengangkat barang satu jari pun. Sekujur tubuhnya lemas.

Orang yang tampak seperti dokter itu mengeluarkan jarum suntik, menjentikkannya sekali. "Kalau begitu, setengah dosis cukup membuatnya tidak sadar tanpa mengancam nyawanya."

Tajam jarum itu mencubit lengannya. Kepala Kania oleng ditahan oleh tangan dokter tersebut dan sebelum ia ditelan ketidaksadaran, ia menyadari jeruji besi di hadapannya. Tatapan mematikan dari dua sosok; William dan Ragnar, memastikan Kania sepenuhnya pingsan.

KANIAWhere stories live. Discover now