26 - Kania

685 169 46
                                    

26


"Keluar."

Perintah Reagan seketika menghamburkan para pelayan dan prajurit di ruang makan. Tangan Tonya menyentuh bahu Kania, tatapannya sarat akan kekhawatiran sebelum ikut melenggang keluar. Bedebam pintu menutup kemudian menyertai langkah sepatu bot Reagan pada lantai marmer. Mendekat dan mendekat. Kania mengendalikan irisan pisau pada ayam panggang di hadapannya, mengunyah santapan malamnya dengan kepelanan yang disengaja.

Alih-alih menempati kursi di ujung meja lainnya, ia duduk di kursi terdekat. Rambut pirang panjangnya jatuh dari ikatan, membingkai rahang keras dan raut gusar itu terlampau tepat. Jantung Kania mulai memainkan irama yang tidak dikenalnya. Pesona Reagan—sekalipun pria itu mengintimidasi dan berbahaya—adalah sesuatu yang sulit ia hindari.

Sehingga, Kania meraih serbet dan membersihkan bibirnya. "Ada apa, suamiku? Tidak biasanya kau menemani istrimu makan malam."

Kedua alis Reagan berkedut. Jelas tampak tidak menyukai panggilan barunya. "Kami menemukannya. Tempat persembunyian mereka. Sebentar lagi aku dan Ajax akan pergi ke Winfield."

Kania tidak menyadari gemetar pada tangannya kala meletakkan serbet kembali ke meja. Ataupun, sesak di sudut tertentu hatinya. Ucapan yang keluar dari bibir Kania, nyatanya, adalah kalimat sedingin es. "Well, semoga ekspedisimu berjalan lancar." Kania tahu ia tidak dapat berada di dekat Reagan lebih lama. Ia hanya akan menghentikan pria itu lagi dan lagi. Sementara Reagan akan tetap bersikeras pergi membahayakan nyawanya. Apakah kejadian di ruang pengadilan bersama Clarendon bukan bukti cukup bahwa lawannya dapat melakukan apapun di luar dugaan mereka?

Kania mendorong kursi, beranjak dari duduknya.

"Apa kau selalu makan sesedikit ini?" Reagan ikut berdiri dari kursi.

Entah bagaimana, frustasi lepas keluar dalam bentuk tawa dari mulutnya. "Sekarang kau mengurusi apa yang aku makan?"

"Aku peduli—" suara Reagan tersendat dari balik bahunya, terdengar tengah mencari kata-kata yang tepat, "—padamu."

Tanpa mengintip sedikit pun dari bahunya, Kania berujar, "Jika kau mampu menyempatkan diri memedulikan seseorang, mengapa kau tidak memulai dari memedulikan dirimu sendiri?" Setelahnya, tungkai Kania berderap menuju pintu keluar.

Namun, secepat apapun langkahnya, ia tidak akan mampu mengalahkan Reagan. Secepat kilat, pria itu menghapus jarak di antara mereka. Panas tubuhnya membakar punggung Kania. Sebelah tangannya terjulur, menutup pintu di hadapan mereka. Aroma pria itu seakan mencetak dirinya di dalam penciuman Kania, relung paru-parunya, segala sudut tubuhnya. Aroma maskulin yang selalu Kania kenali sebagai miliknya. Pedas dan manis. Bulu kuduk Kania meremang menyadari betapa memabukkan aroma Reagan.

Reagan merundukkan kepala, napasnya menyapu daun telinga Kania. Gelenyar pada perutnya kian menjadi. Kania memejamkan matanya, menghalau segala bayangan yang bermunculan menyerang akal sehatnya. Ia ingin meraih telapak tangan lebar Reagan, membawanya menuruni pinggang serta pinggulnya. Membiarkan pria itu membelainya sebagaimana ia adalah sutra paling mahal yang mendambakan sentuhannya.

Ibu jari Reagan mengusap pundaknya sebelum mengukur jenjang lengan Kania. Buku jari pria itu berseteru dengan lembut permukaan kulitnya, menimbulkan sensasi yang merenggut napasnya. Jari-jari panjang itu kemudian bertaut pada milik Kania. Kehangatan segera melingkupi Kania, merasakan betapa sempurna bentuk tangan pria itu menggenggam tangannya. Seakan-akan mereka diciptakan dari pecahan yang dimaksudkan bersama. Sempurna.

Reagan berbisik, "Kau mengenakan kalungku."

"Terlalu indah untuk disia-siakan."

"Kau menyukainya." Kania mampu mendengar pria itu tersenyum kecil.

KANIAWhere stories live. Discover now