52 - Caiden

604 136 48
                                    

52

Perang itu amat berdarah. Amukan bencana mematikan menyapu kesucian tanah kuno itu dengan bertubi-tubi tumpahan darah. Seolah panggilan paling purba datang dari bawah tanah tempat mereka berpijak, mendorong keluar iblis brutal dari masing-masing petarung di medan perang. Mengayun, menebas lawan di depan, kemudian beralih pada musuh lainnya. Tanah yang haus darah, Caiden nyaris yakin ia mendengar tanah kematian sang Malaikat berdesis girang seiring cipratan demi cipratan darah. Perpecahan dunia yang memuaskan dahaga pribadi Malakha.

Provokasi Reagan adalah percikan api, awal mula dari kobaran lebih besar. Sesingkat kedipan matanya, gugusan prajurit di kedua sisi menabrak satu sama lainnya di tengah medan. Tidak ada pihak yang mengalah, membabi buta merangsek maju. Setelah membantu Petra dan Esther mengamankan Kania ke barak medis, Caiden mendapati dirinya terjebak di antara seruan, jeritan, serta pertumpahan darah.

Ia tahu Ayah telah mempersiapkannya untuk satu momen ini; berjuang dan berperang. Tidak seperti Ibu yang memungkinkan segala cara agar kelima anaknya tidak terpapar bahaya perang, Ayah dengan realistis menyatakan bahwa dalam keadaan genting, Caiden, sebagai putra sulungnya, harus menempatkan keluarga di atas kewajiban sekalipun. Sehingga, ia mengerahkan segala yang dimilikinya. Tiap waktu yang dihabiskannya bersama Ayah mewujud menjadi ayunan serangan.

Dengan perisai di tangan kirinya, Caiden menahan sabetan dari prajurit Waisen. Memutar tubuh, ia menggoyahkan pijakan lawannya. Dalam celah sempit itu, pedangnya melarikan serangan cepat nan mematikan. Menggores tubuh lawannya secara diagonal, merobek pembuluh darah di lehernya. Darah menyembur seperti cahaya merekah di kegelapan gua, diikuti ambruk tubuh lawannya ke atas tanah.

Dari ujung matanya, ia menangkap lesatan peluru dari armada Waisenburg di lautan. Ia segera melindungi diri di bawah bayang perisai, napas terburu-buru, memindai satu demi satu—lawan dan kawan—ambruk oleh peluru menyasar tubuh. Namun, kendati demikian, Daria tidak berserah begitu saja. Caiden menyaksikan adik perempuannya menyamarkan diri di antara rimbun pepohonan, melepaskan anak panah jitu, menumbangkan penembak jarak jauh. Satu, dua—Caiden bahkan kesulitan mengikuti gerak-gerik jemari Daria. Bayangkan apa yang adik perempuannya mampu lakukan dengan senapan—tidak akan ada yang dapat mengalahkan Daria dalam pertarungan jarak jauh.

Caiden bangkit dari jongkoknya begitu hujan peluru reda. Ia menyadari seorang Czian berderap lincah ke arahnya dan seketika mengangkat pedang, menahan laju tombak lawannya. Tetapi, tampaknya, refleks Caiden satu detik lebih lambat. Ia mampu merasakan ujung tombaknya menggores bagian terbuka zirahnya, mengalirkan darah segar dari pahanya. Caiden lekas melontarkan tombaknya, menerjang masuk ke titik lemah lawannya, kemudian memberikan hujaman dalam melalui detak jantung Czian itu.

Di saat yang bersamaan, seorang prajurit Waisen merangsek maju ke arah Raphael Schiffer. Pria yang diserang tengah sibuk menghalau lawan lainnya, tidak menyadari musuh yang diam-diam menghampirinya. Caiden melesat, merasakan merah Zahl mengambil alih larinya. Kemudian, ia mengayunkan pedang, menebas bersih leher prajurit tersebut.

Baru ketika punggung mereka saling menyentuh, Raphael menyadari kehadiran Caiden. Mengingatkannya pada masa-masa di Kastil Gemma dahulu. Jenderal Schiffer memiliki metode tersendiri mengajari Caiden berperang. Salah satunya adalah menjadikan Raphael sebagai pasangan duelnya. Ketika saling melawan, Raphael mampu menyaingi taktik-taktik cerdik Caiden, sementara dirinya mampu menandingi kecepatan ayunan pedang pria itu. Ayah dan Jenderal Schiffer setuju bahwa mereka adalah lawan imbang bagi satu sama lainnya. Namun, sedikit mereka ketahui, adalah kenyataan bahwasanya, Caiden dan Raphael membentuk tim yang sempurna.

Saat Raphael mengayunkan pedang, Caiden akan merunduk, menyasar musuh lain di sisi pria itu. Empat prajurit Waisen lain datang ke arah mereka. Gagang pedangnya memberikan tinju cepat pada lawan di kirinya, membiarkan prajurit itu oleng sejenak. Dalam waktu singkat, Caiden menyabet leher prajurit di kanan, dan sesaat pedang prajurit di kirinya berkilat hendak menebas pundaknya, langkah lincah Caiden mengambil alih. Ia bergeser sedikit ke kanan, mendapati Raphael membalik tubuh, memberikan sabetan sepanjang tubuh lawannya.

Dan dengan demikian, mereka menghabisi empat lawan sekaligus. Caiden merasa sedikit bersalah telah meninju Raphael hingga membiru di Albatross dua tahun lalu begitu mengetahui pria itu adalah sumber dari kesedihan Esther. Sedikit. Caiden masih belum memaafkan pria itu sepenuhnya. Apapun yang dilakukannya kepada Esther.

Ombak prajurit lainnya kembali datang. Para Waisen seakan tidak kehabisan pasukan. Menyandarkan punggung satu sama lainnya, mereka mulai menangkis dan menyerang prajurit-prajurit yang datang. Kali ini lebih banyak, enam, delapan, bahkan sepuluh. Caiden jadi bertanya-tanya apakah William memasang harga pada kepalanya—mengingat ia adalah putra sulung ayahnya—sebab ia dikerumuni bagai semut kepada gula. Tidak membiarkan pemikirannya melayang lebih jauh, ia melindungi setiap titik buta Raphael, sebagaimana pria itu menebas leher demi leher yang berusaha merebut nyawanya.

Pada detik itu, genderang telinganya menangkap terompet bahaya dari para Usha di sisi hutan. Tempat di mana Daria berada. Gigil seketika mengalir menuruni punggungnya. Caiden mengalihkan perhatian dari peperangan di sekitarnya, segera menemukan adik perempuannya bersembunyi dari balik batang pohon, menghindari peluru-peluru Waisenburg yang kini fokus mengincarnya. Daria cekatan bersembunyi dan mengintip, meletuskan peluru—ia memperoleh senapan hasil rampasannya dari para Waisen—ke arah pesisir. Tidak menyadari keributan yang pecah dari pedalaman hutan.

Caiden melihatnya. Gelombang lain pasukan Waisenburg tumpah ruah dari sisi pulau satunya—tetapi, bukan sembarang prajurit. Daria telah memperingati Ibu dalam suratnya. Daria juga telah mengingatkan mereka kembali dalam rapat terakhir. Namun, baru kali itu kenyataan bahwa Waisenburg menciptakan ribuan pasukan dari Zahl anak-anaknya mengirimkan sapuan horror serupa detak detik dentuman kiamat, akhir dunia. Itu apa yang William rencanakan, bertahun-tahun lamanya.

Merah Zahl pasukan Waisenburg memenuhi hijau hutan. Dan mereka terperangkap di tengah-tengah tanah suci. Armada Waisenburg di pesisir. Pengguna Zahl di hutan. Caiden tahu untuk tidak meremehkan Waisenburg—mereka selalu memiliki cara-cara kejam memenangkan pertarungan. Salah satunya, misalnya, mengincar nyawa adik perempuannya. Daria bahkan tidak menyadari seorang prajurit Waisen, tubuhnya diselimuti merah paling pekat, mengendap dari belakangnya.

Caiden berlari. Ia menembus lautan peperangan. Menebas, menyingkirkan tubuh-tubuh manusia yang membentuk benteng tebal memisahkan Caiden dari keselamatan Daria. Jangan, pikirnya. Jangan adik perempuannya. Jangan keluarganya lagi. Ia telah gagal melindungi Ayah di Cardinia—ia tidak akan membiarkan yang sama terjadi kedua kalinya.

Namun, angin semesta berbisik selainnya. Detik itu waktu berputar perlahan. Ia berada di lapisan terakhir barisan manusia, menyaksikan pemandangan itu. Punggung Daria terdesak pada sebuah batang pohon sementara ia menangkis ayunan pedang prajurit Waisen dengan senapannya. Bilah itu seperti magnet pada permukaan kulit Daria, semakin dekat dan kian akrab. Dan dari pesisir para Waisen tidak mengendurkan pertahanan mereka. Mengirimkan rentetan peluru ke arahnya. Dentam yang terdengar memekakkan di telinga Caiden.

Sampai-sampai ia tidak menyadari kehadiran merah Zahl begitu pekat di sampingnya. Wahrforce William Waisenburg, kendati tangannya buntung sebelah, mengayunkan pedang yang membawakan kematian kepada ayahnya. Menyabet buka perutnya. Sakit yang tidak kuasa ia deskripsikan melumpuhkan syarafnya. Ia tersedak oleh darah yang meluap ke tenggorokannya. Kedua tangan Caiden meraih robekan di perutnya, seakan-akan seperti Esther, ia mampu menjahit kembali luka tersebut.

Dan Caiden mampu membayangkannya, detik-detik terakhir Ayah, menyaksikan wajah pria yang dianggapnya teman, mengkhianati tepat di bawah hidungnya. Pria yang Caiden anggap seperti pamannya sendiri—

William hanya mendengus singkat menarik bilah tajam itu dari tubuh Caiden. "Kau sama bodohnya seperti ayahmu," katanya.

Kemudian, tubuh lunglainya bergabung bersama mayat-mayat lain di tanah itu. Sang Malaikat tertawa senang.[]

KANIAWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu