14 - Kania

798 190 30
                                    

14

Bau darah seakan menggantung di balik punggungnya, menghantui ketenangannya. Kania membalikkan tubuhnya sedemikian rupa di atas ranjang, merapatkan selimut pada tubuhnya meskipun hawa ruangan beberapa derajat lebih tinggi dari suhu tubuhnya. Ia berharap dengan demikian, lapisan tebal itu mampu menghalau bayangan serba merah yang datang menyerbunya setiap kali ia memejamkan mata. Seperti siluman yang mengintai dari kegelapan, menggelung masuk ke dalam pemikirannya kala ia lengah. Kania tidak mudah takut, tetapi, entah bagaimana, bayangan berdarah itu tidak juga pergi, mengocok perutnya dalam cara menggelisahkan.

Setiap memejamkan matanya, waktu seolah berputar mundur, lagi dan lagi. Ia berdiri sambil menopang tungkainya pada sebatang pohon. Alih-alih mengenakan gaun tidur, tubuhnya dibalut gaun berdebu yang ia gunakan seharian menemani Dorian. Wajahnya banjir darah, kali ini lebih lengket dan pekat seolah darah itu telah melekat berhari-hari. Di hadapannya, hantu pria itu tertawa. Bilah pedang di lehernya bergetar oleh resonansinya. Darahnya tidak berhenti mengucur, membasahi wajah Kania dan ia tidak kuasa menggerakkan barang telunjuk pun. Ia kemudian tenggelam di antara kolam merah.

Kania bangkit dari baringnya, menyingkap selimut dari tubuhnya. Peluh dingin membasahi sekujur tubuhnya dan untuk beberapa detik singkat, cairan bening itu berubah kemerahan. Kania menghirup napasnya dalam-dalam. Ia menumpukan dahi pada kedua tangannya sembari menyelaraskan napasnya serta gejolak menjijikan di perutnya. Ia mengingatkan dirinya sekali lagi bahwa ini adalah apa yang ia dapatkan ketika meminta kebebasan. Dunia di luar sangkarnya tidak penuh pelangi seperti diri kecilnya bayangkan, ia mengetahuinya. Apabila ia telah melalui yang lebih buruk dari ini, maka ia dapat menghadapi yang satu ini. Ia mengetahuinya. Ini bukan apa-apa.

Namun kemudian, bayangan berdarah itu kembali menyerbu di balik kelopak matanya dan wajah Ayah menggantikan wajah pria itu. Ayah, seperti yang terakhir diingatnya sebelum ia pergi ke Cardinia dan meninggal di antara puing-puing gereja. Darah tidak hanya mengucur dari tenggorokannya. Manik biru kelabunya dipenuhi darah. Dari lubang hidungnya, kemudian telinga dan mulutnya. Ia bagai bangkit kembali dari kematian, tetapi kali ini lahir oleh cairan merah darah. Tangan itu mengguncang pundaknya dan entah khayalan semata atau bukan, Ayah berpesan, selamatkan keluargamu.

Dari apa? tanya Kania. Jawabannya tidak kunjung tiba.

Menengadahkan kepala, Kania mendapati jam di dindingnya menunjuk pukul setengah dua belas malam. Sudah lebih dari satu jam ia berupaya melelapkan dirinya. Ia mengalihkan pandangannya pada pintu penghubung kamarnya dengan kamar kaisar. Senyap. Seketika, ia memutuskan untuk beranjak dari kasur. Ia meraih jubah dan bertelanjang kaki menyusuri lorong kastil, mengikuti pendar lilin di dinding—tidak yakin ke mana ia hendak pergi. Hanya saja, ia butuh pergi dari kamar untuk sementara.

Hal ini mengingatkan Kania pada minggu-minggu pertama setelah kabar kematian Ayah. Ia kesulitan tertidur, terus terjaga oleh sedu sedan Ibu yang terus terngiang di benaknya. Ia kemudian akan meninggalkan kamarnya, berdiri di hadapan pintu kamar Ibu, menimbang-nimbang apakah ia harus mengetuk pintu atau tidak. Pilihannya selalu tidak: ia akan berjalan tanpa arah di dalam kastil hingga tumitnya terluka. Sebab ia tidak mampu lari dari kemungkinan bahwa separuh alasan kematian Ayah adalah salahnya. Dan ia tidak tahu bagaimana cara memperbaiki kesalahannya.

Langkah Kania memelan kala sayup-sayup suara pria menyusup ke pendengarannya. Mengikuti arah sumber suara, ia menemukan cahaya lurus jatuh dari celah pintu ruang kerja kaisar.

"....seorang pelayan terbunuh. Penjagaan kita ditembus—namun, aku begitu yakin itu merupakan ulah salah seorang di antara kita. Para penghuni kastil." Itu suara Ajax.

KANIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang