47 - Reagan

749 142 27
                                    

47

Aku mencintaimu.

Reagan tahu ia sudah kalah ketika, pagi kemarin, kalimat itu tumpah dari antara bibir merah muda Kania. Dunia bagai terbalik, detik berhenti sejenak dan mulai menghitung mundur. Ia mampu mendengar kecipak dua bocah bermain di genangan air seusai hujan. Membayangkan lumpur sebagai salju, memandangi langit kelabu dan berandai itu adalah kanvas yang begitu luas, tempat mereka menggambar cita-cita. Ragnar hendak menciptakan masa depan di mana mereka kabur dari Kastil Dresden, mengembara ke empat benua—mengunjungi Whiteford yang ditutupi salju sepanjang tahun, mendaki gunung-gunung tertinggi Cayenne, atau berkelana sepanjang jalanan ramai Waisenburg. Ke mana saja, tetapi tidak di Dyre, kata Ragnar.

Sedangkan Reagan tidak pernah berharap banyak; sedikit saja kapasitas bagi Ibu mencintai mereka. Mengharapkan seseorang mencintainya, menyayanginya. Seseorang yang mampu mempersembahkan perasaan agung itu, mengisi hatinya. Untuk sejenak, pelangi merekah di langit kelabunya. Sinar matahari menghijaukan rerumputan di sekitarnya.

Kemudian, bayangan berdarah itu menyusup masuk. Gonggongan anjing dan suara robekan kulit, jeritan yang memilukan genderang telinganya. Namun, alih-alih Cyrilla, ia melihat Kania. Kedua tangannya kembali tidak berdaya.

Ia tahu ia sudah kalah. Tetapi, ia berjanji tidak akan membiarkan dunia merebut siapapun darinya lagi. Ia memperketat penjagaan kastil, mengamankan semua pintu rahasia di kastil. Tahu bahwa cerdik otak Kania tidak akan berhenti sampai sana, ia mengirimkan prajurit tambahan mengawal wanita itu setiap saat. Reagan membenci mereka yang mengurung Kania—namun, ia menyadari lambat laun ia menjelma menjadi sosok yang dibencinya. Kini, Reagan memahaminya. Satu-satunya cara melindungi Kania adalah menjauhkannya dari dunia luar. Dunia yang terlalu berbahaya.

Kania tidak menghadiri makan malam. Tonya mengumumkan kepada keluarga Kania bahwa wanita itu sakit dan tidak dapat menghadiri makan malam. Reagan baru saja beranjak dari kursi, instingnya hendak berderap ke kamar Kania ketika Tonya segera menolaknya. Dokter tidak memperbolehkan siapapun berkunjung. Demam dari Qyhar ganas, kilah Tonya. Detik itu Reagan tahu Kania bermaksud menghindarinya. Reagan kembali menyesap anggur, melanjutkan santapannya yang kian hambar di tiap gigitannya. Menenggelamkan diri dalam kesunyian di antara keramaian keluarganya.

Tetapi, keheningannya tidak dapat menipu insting seorang ibu. Thalia Ersa of Seymour mengunjungi ruang kerjanya dan Reagan tidak pernah berhenti bertanya bagaimana sepasang ibu dan anak tampak begitu mirip sekaligus jauh berbeda. Fitur wajah yang diiris langsung dari satu sama lainnya. Manik keemasan, ujungnya terangkat memberikan paduan tepat antara arogansi dan kepintaran. Rambut sehitam malam, cahaya lilin menari pada tirai legamnya. Bibir merah muda, menaungi dagu mungil sempurna. Tungkai-tungkai anggun dibalut kulit semulus mutiara.

Hanya saja, ketika Kania membawa diri bagai api seperti saudaranya yang lain, Thalia adalah sejuk air sungai.

"Apa ada masalah, Yang Mulia, dengan Kania?"

"Sakit," jawab Reagan. "Ia akan segera sembuh."

"Apa semua baik-baik saja?" Thalia maju semakin dalam ke ruangannya, berdiri di hadapan meja kerjanya. Reagan mendongak, memahami betapa beruntung Kania. Wajah ibunya berubah cemas, tatapannya bertanya-tanya. Thalia begitu menyayangi Kania, mengasihinya dengan seluruh lubuk hatinya. Apabila Reagan menghalangi Thalia dari kebenaran—tindakan itu hanya akan menimbulkan rasa bersalah berkali-kali lipat dari yang dialaminya sekarang.

Segala cerita terurai dari bibir Reagan. Zahl Kehancuran. Perang melawan Waisenburg. Sang Malaikat dan Kania. Di luar dugaan Reagan, Thalia tidak memprotes, apalagi bertanya. Reagan mempertahankan pengendalian dirinya, menampakkan persona sedingin baja dan es, berhati-hati agar ia tidak tersakiti oleh perkataannya sendiri. Namun, Thalia mendengarnya dengan teliti seakan wanita itu mampu mendengar emosi-emosi tersembunyinya. Memaklumi hal tersebut bukan sebagai kelemahan, melainkan keberanian. Tanpa komentar, manik keemasannya memandangi Reagan dengan cermat. Pada akhir kisah, Thalia mengangguk.

KANIAWhere stories live. Discover now