44 - Kania

699 139 25
                                    

44

Dengan satu manuver mulus, hunusan belati itu membelah aliran udara, mengecup kulit di mana rahang dan leher Kania bertemu. Belati itu bahkan kehilangan segala kapasitasnya untuk menggores luka, sebab Reagan berhati-hati menjaga belati tetap di sarungnya selama mereka berlatih membela diri. Namun, detik singkat belati itu mengarungi udara berhasil membuat Kania seutuhnya lupa cara bernapas, terkenang akan ingatan di katakombe. Bagaimana tiada yang mampu menghentikan sabetan pedang pria itu, semua titik buta yang lawannya tidak mampu sembunyikan dari Reagan. Pria itu mematikan dan berbahaya. Sisi yang tidak Kania ketahui dua tahun lalu.

Tetapi, entah mengapa, melihat Reagan menunjukkan dirinya jujur dan utuh memberikan rasa nyaman serta aman bagi Kania.

"Kira-kira seperti itu," ujar Reagan. "Setelahnya, jika musuhmu mencoba melawan, kau tekan lebih dalam." Reagan memutar gagang belati itu dengan familiaritas tiada dua, menjauhkannya dari batang leher Kania. "Atau kau dapat menghujam langsung ulu hati mereka." Sebelah tangan Reagan menunjuk di mana organ spesifik itu berada. "Kalau kau tidak sampai hati—" Reagan menemui manik emas Kania, "—aku akan selalu membunuh untukmu."

Kania menghirup napasnya tajam. "Aku akan berusaha membela diriku sendiri," ia merebut belati itu dari genggaman Reagan, kemudian mereplikasi manuver yang diajarkan pria itu—jauh di bawah standar.

Reagan tidak tertawa, tidak juga mengejek langkahnya seperti yang dilakukan Ajax, tapi ekspresi samar terlukis di wajahnya. Mengingatkan Kania pada wajah Ayah kala mengelus kepala Petra, Daria, dan Esther bangga. Meraih kembali belati itu dari Kania, ia mulai menyelipkan sarungnya pada sebuah sabuk. "Aku dengar kau menjungkirbalikkan Ajax."

"Dengan bantuan Zahl," tambah Kania. "Jangan lupakan yang satu itu."

Tawa serak terlontar keluar dari mulut Reagan. Wajahnya melembut, hidungnya sedikit mengerut sementara kedua sudut bibirnya tidak berhenti tersungging, menampakkan geligi seputih susu. Pundaknya bergetar naik turun, sebelah tangannya beranjak untuk menutup mulut. Manik kelabunya mewujud sabit kembar, menggantung di dunia Kania yang dipenuhi kehadiran alunan tawa Reagan. Setiap mikro detail itu—Kania menyukainya. Kibasan bulu matanya, suaranya yang kasar tetapi melembutkan sesuatu di dalam diri Kania.

Kania tidak ingin ia berhenti tertawa.

"Luar biasa," Reagan menyudahi tawanya. Lalu, perlahan merunduk, berlutut di lantai keras lorong pelayan. "Ajax pantas mendapatkannya."

Terperanjat, Kania limbung. Punggungnya menabrak dinding. "Apa yang kau lakukan?"

Genggaman Reagan melingkupi pergelangan kakinya, menopang keseimbangan Kania. Kemudian, sementara sebelah tangannya mengukur naik jenjang kakinya, Reagan mendongak. Dan jika pemandangan malam itu tidak mencuri detak jantungnya—mungkin Kania tidak lagi waras. Pria itu berlutut dengan satu kakinya, elusannya menjelajahi permukaan kulit yang dikenalnya baik. Kania tidak pernah habis pikir, bagaimana, pria mengerikan, penguasa atas sebuah kekaisaran, disegani seantero rakyat Dyre, berlutut di hadapannya. Mengikatkan sabuk belati ke pahanya.

Punggung Kania seakan meleleh, menyaksikan bagaimana pria itu menuangkan perhatian, berhati-hati untuk tidak mengikat belati terlalu kencang. Meraba kulitnya di sana seolah itu adalah kali pertama pria itu memujanya. Di bawah sentuhannya, Kania adalah wilayah ranah hijau yang tak sudah-sudah ia jelajahi. Diinginkan, dipuja, dan dilindungi; Kania tidak pernah tahu intensitas itu mampu menggugah perutnya sedemikian rupa oleh gelora primitif demi menguasai Reagan—hanya untuk dirinya.

Ujung hidung Reagan menyentuh paha Kania, menghirup aromanya. "Lili," bibirnya mencetak kata itu di permukaan kulitnya. Napas Kania tercekat dan Reagan menyadarinya, senyum pria itu mengecap paha Kania. "Kau suka melihatku berlutut."

KANIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang