18 - Kania

766 176 45
                                    

18 

Menyisir koridor Kastil Dresden tidak terasa sama seperti hari-hari pertamanya menginjakkan kaki di Kekaisaran Dyre. Kala itu para pelayan akan berlalu-lalang di koridor kastil, sambil merundukkan kepala serendah mungkin, berusaha untuk tidak mencuri perhatian Kania. Begitu melaluinya, mereka akan mengembuskan napas seolah baru saja menerjang perang terbesar sepanjang sejarah. Sesekali juga bertukar pandang gelisah, takut dengan cara yang tidak mereka ketahui, Kania merasa terhina oleh tindakan mereka.

Tapi, tidak lagi setelah pertunjukan berdarahnya kemarin.

Kini para pelayan mencoba mencuri perhatian Kania. Mereka akan berjalan setegak tiang bendera, langkah kaki mereka ringan sembari menyerukan selamat pagi seperti kokok ayam di pagi hari, serta menyunggingkan senyum selebar mungkin. Kania membalas dengan senyuman sopan seperti biasanya. Namun, alih-alih mengembuskan napas lega, cekikik mereka akan menggema sepanjang lorong. Saling berebut kepada siapa senyum Kania tertuju.

"Aku tidak menyangka tindakanku akan membawa pengaruh sedemikian besarnya." Kania mengangkat kedua bahunya. Lalu, menguap. Ia tidak cukup tidur semalam, memikirkan langkah yang harus diambilnya mengatasi masalah ini.

Tonya menyeringai, "Pertama, kau membela seorang pelayan. Kedua, kau menentang para bangsawan konyol itu. Ketiga, kau menantang sang Kaisar! Tidak sembarang ratu memiliki kualitas-kualitas seperti milikmu dalam diri mereka. Ratu Dyre sebelumnya, misalnya, senang menyiksa pelayan-pelayannya, menyayat mereka dengan pisau atau bahkan mencoba membakar mereka hanya untuk melihat—" Tonya bergidik, "Ia tidak menganggap pelayan sebagai manusia."

Dahi Kania berkerut membayangkan adegan sadis itu. "Aku tidak mengerti mengapa."

"Mereka tidak memerlukan banyak alasan untuk melakukannya. Kami hanyalah subjek yang tunduk di bawah mahkota Kekaisaran Dyre."

"Itu pemikiran yang sinting. Kalian bukan milik siapa-siapa."

"Kenyataan tidak pernah sama dengan apa yang kau baca dari buku-buku pengetahuanmu," ujar Tonya. "Itu apa yang aku pelajari setelah aku menjadi pelayan."

"Tapi, mencoba membakar, Tonya?" Kania bergidik. "Apakah Kaisar Cicero sengaja membiarkan tindakan sadis itu dalam lingkup istananya?"

Tonya mengulum bibirnya, mempertimbangkan sesuatu di pemikirannya. Kania mampu menangkap gerak bola matanya perlahan bergeser ke kiri. Ini, pikir Kania, adalah apa yang ia pelajari selama dua puluh tahun terkurung dalam kastil. Memperhatikan setiap detail wajah manusia menjadi kegiatan paling menarik baginya sampai-sampai ia terbiasa dengan dusta serta gestur khas orang di sekitarnya. Dari pengalamannya, tanpa sadar orang-orang cenderung mengalihkan bola mata kala berpikir.

"Keturunan keluarga kekaisaran terkenal akan kegilaannya," bisik Tonya. "Cicero bukan pengecualian. Ini cerita yang kudengar saat aku kecil, cerita yang didengungkan perawatku setiap kali aku berteriak dan bersikap tidak selayaknya seorang lady—bahwa Kaisar Cicero akan membawa anjing-anjing menyeramkannya menghukum anak yang nakal."

Kania mendengus. "Itu hanya cerita yang dikarang untuk menakuti anak-anak. Ibu pernah berkata kepadaku serta keempat saudaraku bahwa leluhur kami, Adolphus of Reyes, adalah roh pemarah dan akan menghukum bocah yang suka berteriak, mengacaukan ketenangan alam bakanya. Daria, kakakku, pernah berteriak dan tidak sengaja mematahkan hidung patung leluhurku—tapi, hingga saat ini, aku yakini ia tidur lebih pulas dari seekor beruang."

Itu berhasil mengundang tawa Tonya. Getaran bunyi yang juga menggelitik perut Kania, memompa dopaminnya ke permukaan. Kania tertawa kecil, mereka ulang betapa lucu kejadian bertahun-tahun silam itu. Kemudian, di sudut kecil hati Kania, perasaan lega merebak. Seakan-akan, ketakutannya menginjak dunia baru meredup, meski untuk sementara. Bertukar tawa dengan Tonya mengingatkan kepada Kania kehangatan apa yang ditawarkan tanah asing ini.

KANIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang