42 - Kania / Reagan

628 155 24
                                    

42

Kania bangun dengan resah mengetahui hari ini tidak berjalan sesuai rencananya.

Semalam, sebelum lilin terakhir Tonya padamkan, kabar datang dari bocah pembawa pesan bahwa perjalanan rombongan Reagan terhambat oleh pohon tumbang. Terlalu besar dan berbahaya bagi kuda-kuda serta kereta mereka lalui. Mereka terpaksa mengitari hutan, mengambil jalur beberapa jam lebih lama dan tidak dapat menyambut Reibeart tepat waktu. Kania tidak berhenti cemas sebab pagi ini seharusnya mereka mendiskusikan langkah bernegosiasi dengan kakaknya. Mengingat pribadi Reagan, tanpa merencanakan matang-matang—yang terburuk bisa saja terjadi.

Tidak, tidak. Kania tahu Reagan tidak akan menyentuh satu debu pun di tubuh Katarina. Ia yakin pria itu akan menghargai kepercayaan Kania terhadapnya. Jika pun tidak, pria itu tahu di mana prioritasnya berada. Menggelorakan konflik dengan Reibeart semudah mengorek luka lama—Kania yakin Reagan akan berhati-hati melangkah. Reibeart aset yang berharga. Pria itu mustahil membuat Reibeart memusuhi Dyre, terutama dengan perang di pelupuk mata.

Tetapi, tantangan sesungguhnya berada pada kakak sulungnya, Caiden. Hanya orang imbesil yang tidak bisa melihat betapa Caiden mencintai Katarina setengah mati. Ditambah sifat autokrasinya—seorang kepala negara, kepala keluarga, bahkan seorang ayah—Kania ragu ia akan menganggap baik niatan Reagan bernegosiasi. Tepat hal terakhir yang diinginkan Kania; duduk di ruangan yang diisi dua orang autokratif. Bagai neraka mewujud di muka bumi.

Pelbagai pemikiran berseliweran keluar masuk selama Tonya menuntunnya ke bak mandi yang beraroma campuran antara lavender dan madu. Tonya sekalipun tidak berani bertanya mengapa Kania diam sepanjang tubuhnya dibersihkan, sebab, biasanya, Kania tidak pernah lupa menanyakan kabar ayahnya. Benaknya ribut oleh runtutan solusi, memilah dari sekian banyak, mana yang paling tepat. Ia tahu keberhasilan hari ini bergantung kepadanya.

Kala Tonya membalutkan gaun khas Dyre bernuansa biru gelap—warna kerajaan Reibeart—Kania tahu apa yang harus dilakukannya. Kania memutuskan, bagaimanapun solusinya, ia harus memimpin diskusi. Apapun yang hendak Reagan sampaikan harus melalui dirinya. Caiden akan mendengarkan Kania, ia tahu bagaimana cara mendapatkan hati kakak laki-lakinya. Tetapi, dengan pria lain—sama saja seperti menyulut pertikaian.

"Apa penampilan Anda memuaskan, Yang Mulia?" tanya Tonya, mengaitkan kalung dari perak dan berlian di seputar lehernya.

Kania menemui manik emas yang teramat dikenalnya pada pantulan cermin. Kania Octavius of Reyes—kenyataan itu tidak pernah berubah. Biru gelap dan perak yang melekat pada tubuhnya menyuarakan lebih lantang dari mana asalnya. Kerajaan para seniman, kerajaan para pejuang. Dan kini, Kania tengah berjuang untuk Kekaisaran. Dyre dan Reibeart, berpadu dalam dirinya. Ia adalah wujud dari kesatuan itu. Ia tidak akan membiarkannya retak.

Untuk pertama kalinya pagi itu, Kania menyunggingkan senyum, "Kau tidak pernah mengecewakanku."


***


Seusai membantu kepala istana memastikan tirai, karpet, dan kandil tidak tersentuh satu pun debu. Kania berjalan melintasi ruang takhta yang kini dipenuhi oleh panji-panji Reibeart dan Dyre. Ajax mengenakan baju zirah terbaiknya, hitam pekat berlambang serigala kembar dan matahari. Bunyi baja bergesek menyertai tumit Kania kemana pun ia pergi, mengusik satu-satunya ketenangan yang diperlukan Kania.

Baru Kania mengambil duduk di kursi sebelah singgasana Reagan, pintu ruang takhta berderit membuka, memperlihatkan prajurit bertubuh jangkung. Ia membungkuk hormat baik kepada Kania maupun Ajax sebelum menyampaikan, "Yang Mulia Ratu, dalam lima menit keluarga kerajaan Reibeart akan mencapai halaman utama Kastil Dresden."

KANIAWhere stories live. Discover now