36 - Kania

645 155 36
                                    

36 


"Aku sudah menantikanmu, Yang Mulia."

Kania membeku oleh sambutan Ignatius. Keheranan meriak pada wajah Ajax yang tengah menahan pintu. Gemerisik gerak-gerik Tonya di balik punggung tidak mengusiknya. Membebaskan diri dari kelumpuhannya, Kania menarik napas panjang-panjang, kemudian menghelanya perlahan. Berat di hatinya sudah membebani sejak dua hari lalu Reagan menyarankan Kania untuk melatih Zahlnya. Hanya Ignatius yang dapat membantunya, ia mengingatkan dirinya sekali lagi demi kewarasannya.

Tungkainya masuk satu langkah lebih dalam. Seolah ia tengah meniti jalan di atas jaring laba-laba, waspada supaya tidak terperangkap.

"Apa aku perlu menemanimu?" tanya Ajax.

"Silakan menunggu di luar, Ajax," Kania tidak tahu bagaimana ia mampu mengendalikan ketenangan pada intonasi kalimatnya. "Aku akan baik-baik saja." Sebab, ia tahu itu benar. Ia tidak dapat membiarkan pendapat pribadinya mengabuti pandangannya akan pendeta tertinggi Ansburgh. Di sepenjuru dunia, bahkan, bila mempertimbangkan kehancuran gereja-gereja di Cardinia.

Kedua manik hijau Ignatius mengintip dari balik kacamatanya, "Aku tidak menggigit, Sir Lancaster, bila itu yang kau takutkan."

Ajax membusurkan kedua alisnya. "Tentu tidak," ujarnya. "Aku akan menunggu tepat di luar pintu, Yang Mulia." Menutup pintu di belakang punggung Kania.

"Biar saya tuangkan Anda teh Yang Mulia," Ignatius buru-buru bangkit dari kursinya.

Kania segera menghampiri Ignatius, mengaitkan tangan pada lengannya, merasakan betapa renta tubuh pendeta itu. "Anda tidak perlu repot." Mengiringinya berjalan ke meja teh di tengah ruangan.

"Pelayanan yang terbaik untuk Ratu Dyre," Ignatius terkekeh, berhati-hati mengambil tempat di salah satu sofa. Seakan-akan tulangnya akan remuk oleh hantaman ringan sekalipun. Seluruh keyakinan di dunia bertumpu pada dua bahu rapuh itu.

Kania duduk di sofa lainnya, membiarkan Ignatius menuang teh ke cangkirnya. "Selagi hangat," ujar pria itu mendorong cangkir ke hadapannya.

Sebagai bagian dari sopan santun, Kania menghirup aroma cairan cokelat tersebut sebelum menyesapnya. Hangat membasahi tenggorokannya dan, entah bagaimana, menenangkan pompa jantungnya. "Kau mengantisipasi kehadiranku."

Ignatius menyesap tehnya. "Kaisar menyurati maksudnya untuk mempercayakanmu di bawah pelatihanku. Tentu, bukan Kaisar secara langsung, tetapi Dorian."

Masuk akal. Kania meresapi jawaban Ignatius sembari menyeruput cairan teh itu lagi. Hangatnya membantu Kania memusatkan pikirannya.

Ignatius bertanya kala sunyi mewujud canggung di antara mereka. "Mengapa Anda mengubah pikiran, Yang Mulia?"

Mengapa, bukankah itu pertanyaan paling sederhana? Mereka menamai kekuatannya Zahl Kehancuran karena suatu alasan. Takut akan potensinya oleh sebab suatu hal. Bahkan bagi Reagan, kekuatannya tidaklah biasa. Ia mengingat kejadian di katakombe Kastil Dresden, bagaimana ia mampu melebur belenggu di tangannya menjadi serpihan debu. Apabila kehancuran di dalam dirinya menjadi tidak terkendali—Kania bahkan tidak berani membayangkannya.

"Aku harus mengendalikan kekuatan ini," Kania meratapi kedua telapak tangannya. "Aku tidak ingin siapapun terluka oleh karenanya."

"Bijak." Ignatius tersenyum. Keriput di sisi matanya mendalam.

KANIAWhere stories live. Discover now