2 - Kania

1.1K 172 35
                                    

Itu adalah cat biru terakhirnya.

Kania meraih kaleng catnya, mengintip ke dalam silinder timah tersebut seolah-olah secara ajaib akan terisi kembali. Mengembalikan kaleng tersebut ke keranjang, langkah Kania melintasi ruangan membuka lemari kayu tempat beragam cat ditata rapi. Telunjuknya menyusuri setiap permukaan kaleng cat, memindai warna biru yang ia butuhkan. Jemarinya berhenti pada ruang kosong di antara deretan cat di mana seharusnya warna birunya berada. Stok cat birunya tuntas, sehabis-habisnya.

Ia kembali berdiri di hadapan kanvas, bersedekap sembari berhati-hati agar jari kotornya tidak mengotori gaun atau wajahnya. Untuk menuntaskan lukisan pemandangan dari jendela ruang lukisnya, tentu warna biru memainkan peran krusial dan Kania tidak pernah menyelesaikan pekerjaannya setengah-setengah. Kania jadi bertanya-tanya berapa lama waktu yang dibutuhkan pedagang cat dari wilayah timur Reibeart—yang terkenal akan produksi catnya, langganan anggota kerajaan sejak dahulu kala—sampai di kastil ibukota. Dua, tiga hari? Kania tidak bisa menunggu selama itu.

Pandangannya bergeser pada jendela di balik kanvasnya. Musim semi bermekaran dibingkai empat sisi jendela yang menjulang tinggi menyentuh langit-langit ruang lukisnya. Awan putih bergelung melintasi langit biru yang sedemikian luasnya, namun terlalu sempit untuk bingkai jendelanya. Dan di bawah payung mukjizat serta kebebasan itu, ibukota Reibeart, Gemma, perlahan menunjukkan kepulihannya di bawah pimpinan raja baru mereka, kakak sulung Kania—Caiden Theoxaris of Reyes yang pertama dari namanya.

Tungkainya menghampiri jendela, melarikan jemari di permukaan kaca seraya menghidupkan kembali satu-satunya ingatan perjalanannya menyusuri jalan berkerikil Gemma. Mulai dari gerbang utama benteng, terus mengikuti jalur hingga menemukan patung megah Adolphus of Reyes yang dipahat hampir satu abad lalu. Setelahnya, berbelok kanan melalui distrik pertokoan elit yang hanya menerima pengunjung dari kalangan tertentu. Butik, toko bunga, perabot rumah tangga, restoran, dan—jemarinya beristirahat pada sebuah bangunan dengan atap kemerahan—toko alat lukis.

Kania mampu melihatnya; para pelukis keluar masuk toko tersebut, berantakan dan acak-acakan, namun setiap dari mereka memiliki tatapan seseorang yang lapar akan seni. Pergi beraut puas dari toko, membawa entah kanvas, grafit, cat, atau kuas baru. Sesuatu di dalam diri Kania bergejolak, mengetuk kerangkeng yang membatasi hidupnya selama dua puluh tahun. Dan detik itu, Kania memutuskan berjalan-jalan di kota tidak terdengar buruk.

Ayah dan Ibu akan melarangnya. Memasang wajah khawatir yang tidak hanya menggerogoti kewarasan kedua orangtuanya, tetapi juga miliknya. Setelah kejadian empat belas tahun lalu, kedua orangtuanya tidak juga melonggarkan perlindungan mereka terhadap Kania. Ia dibiarkan bersosialiasi, namun hanya dengan orang-orang tertentu. Ia dibiarkan belajar dengan guru-guru terbaik, namun dilarang mengaplikasikannya di dunia luar. Ia dibiarkan melukis kebebasan, namun tidak pernah sesungguhnya, ia dibiarkan memilikinya.

Seolah-olah ada gelembung transparan di sekitarnya, cukup dekat baginya untuk menyaksikan dunia luar—namun terlampau jauh untuk menggapainya. Gelembung yang menyumbat paru-parunya, mencekik tenggorokannya, menjadikan indranya lumpuh. Sebab, Kania hanya mampu merasakan sesak menumpuk di dadanya mendapati napasnya berputar serta berpantulan pada dinding lorong kastil yang selalu sama.

Pada suatu titik dalam hidupnya, sesak itu sempat meledak. Selayaknya bocah manapun yang baru genap berumur tujuh belas tahun, Kania menuntut kebebasan. Ia menyerang Ibu dan Ayah dengan seribu argumentasi yang mana kesemuanya mereka tolak mentah-mentah. Kania terus meminta hari demi hari hingga akhirnya ia terlalu lelah meminta. Keempat saudaranya tidak bisa berbuat banyak. Mereka tahu Kania akan selalu menjadi bayi di keluarga kecil mereka.

KANIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang