20 - Reagan

786 159 33
                                    

20 


Dengan seluruh kewarasan dan sisa kekacauan yang masih melekat di Kastil Dresden, Reagan menjaga dirinya tetap terbangun kendati malam menggantung. Indranya waspada, tergerak oleh samar kerasak dan kepak sayap kelelawar. Kendati Reagan tahu prajurit-prajurit Ajax tidak akan mengecewakannya, ia menyampirkan pedang di sisi sofa, menghadap pintu yang menyambung ke kamar Kania. Menjaga wanita itu terlelap. Pelajaran yang ia dapat selama memperjuangkan nyawanya di koloseum: selalu bersiap untuk yang terburuk.

Menyilangkan kaki, Reagan membiarkan sorot rembulan menyinarinya, bayangan panjangnya menjadi satu-satunya kawan di dalam kamar. Reagan menangkat Cincin Dyre, membiarkan sisi silindris itu diterpa sinar keperakan. Untuk Dyre baru. Ia ingin menertawakan kemalangannya. Imbalan setimpal, mengingat ia menggunakan cincin ini sebagai sarana menghimpun para pendukung Valentina dan mengobarkan kudeta atas takhta yang bukan miliknya. Cincin ini bukan pula miliknya. Dan kini para pembelot mengibarkan propaganda Dyre baru untuk melawannya. Propaganda yang juga digunakannya mengambil alih para pendukung Valentina.

Terkadang, Reagan akan memutar kembali runtutan kejadian penting di masa lalunya, menebak-nebak di mana letak kesalahan yang membawa petaka tanpa henti di hidupnya. Merenggut warna dan rasa dari dunianya. Selama dua puluh tujuh tahun hidupnya, ia bernapas dan berjalan, namun sama sekali tanpa jiwa, hanya dendam serta amarah. Valentina selalu mendengungkan kepadanya bahwa dendam adalah bara lain yang dapat menghidupkan jiwa. Tetapi, sedikit ia ketahui, dendam adalah emosi serakah yang membawanya berkeliling pada lingkaran setan yang sama. Daftar bunuh ialah detak napasnya. Setelah semua nama di daftar bunuh itu, lalu apa? Setelah semua ini, lalu apa?

Sesungguhnya, siapa ia tanpa darah dan Valentina?


***


Lembar awal memorinya adalah semburat matahari di taman belakang dua puluh tahun lalu. Setelah musim hujan berkepanjangan mengurung aktivitas Reagan di Kastil Dresden, akhirnya, sinar mentari merekah membuka dari balik gugusan awan. Hijau rerumputan membuat hamparan taman layaknya permadani zamrud. Reagan bangun dari ranjangnya terlampau bersemangat. Tungkai pendeknya melintasi kamar dengan riang.

Pada umumnya, pangeran di Dyre selalu memperoleh satu ruangan yang terlalu luas untuk disebut sebagai kamar. Namun, atas titah Ratu, ia dan kakak kembarnya ditempatkan dalam kamar di bagian terbengkalai istana. Para pangeran dan putri lainnya biasa (dengan sengaja) akan berjalan melalui kamarnya lalu melempar komentar mengenai betapa sempit kamarnya atau betapa usang dindingnya sembari tertawa mengejek. Reagan tidak pernah menghiraukan mereka semua. Bahkan, apabila diberikan kesempatan, Reagan ingin berterima kasih kepada Ratu atas kamar sederhana ini. Juga, karena telah menempatkannya sekamar dengan Ragnar.

"Ragnar." Reagan susah payah menarik selimut dari tubuh kakaknya. "Ragnar! Bangun!"

"Dor!" Ragnar mendadak bangun dari ranjang, mengundang keterkejutan Reagan.

Tawa renyah memenuhi kamar sempit itu. Apa yang usang dari kamarnya, Reagan jadi bertanya-tanya. Sebab, segala sudut kamarnya dilapisi mewah kebahagiaan. Sesuatu yang hilang dari kamar bergelimang berlian serta sutra mahal pangeran lainnya. Kekayaan sekalipun tidak kuasa menggantikan kebersamaan Reagan dan Ragnar.

Mereka segera berganti pakaian, beradu mencuci muka dan menyikat gigi. Tidak menyiakan barang sedetik pun cuaca cerah hari itu. Tidak seperti anak Kaisar lainnya, Reagan dan Ragnar kerap menghabiskan akhir minggu mereka bermain di halaman. Tentu saja, setelah lima hari tiada henti belajar serta sesekali dihukum, udara segar akan menjadi surga pelarian mereka. Bermain tangkap bola, membaca buku, memanjat pohon, bergumul, bercanda, kemudian berbaring di atas hamparan rumput, membayangkan diri mereka sebagai peri awan yang menyantap gumpalan putih lembut itu—sebelum tertidur, kenyang oleh imaji mereka sendiri.

KANIAWhere stories live. Discover now