74. Kita Berteman

60 5 4
                                    

Aku baru saja selesai kelas terakhir untuk hari ini. ketika aku keluar, seseorang menghampiriku.

"hai" sapanya dengan senyum ramah.

Ada kecanggungan ketika melihatnya muncul di hadapanku lagi. Aku jadi ingat peristiwa terakhir ketika aku bertemu dengannya di depan gedung olahraga. Aku tidak berharap hal sepert itu akan terjadi lagi.

"hai" jawabku dengan canggung.

"maaf aku hanya ingin bicara denganmu- kau mau pulang ?" aku mengangguk mengiyakan "baiklah aku akan menemanimu berjalan ke parkiran sambil aku bicara sesuatu"

"okey"

"mmm- maaf untuk yang terakhir kali itu aku kelewatan" ucap Rafi dengan canggung, dia berulangkali menggaruk belakang kepalanya.

"hemm okey"

"lagi-lagi aku terlalu tergesa-gesa padahal kita baru saja kenal, iya kan"

"maaf Rafi, sepertinya aku tidak bisa melanjutkan ini"

"kenapa ? kau tidak menyukaiku" dia memberikan tatapan terkejut.

"bukan begitu, yang jelas hubungan yang kau harapkan dariku, itu tidak bisa kuberikan. Maaf Rafi"

"apa aku menyebalkan ?"

"bukan begitu, aku hanya tidak bisa aku sudah punya pacar"

"oh-kau sudah punya pacar" Rafi tersenyum kaku, dia terlihat menyembunyikan kekecewaannya.

Tidak terasa perjalanan kita sudah dekat di parkiran. Dia kemudian pamit meninggalkanku. Mungkin dia kecewa atas jawabanku jadi dia ingin segera menjauh dariku. Aku membiarkannya pergi.

Setelah semakin dekat di tempat vespa-ku, aku bisa melihat Bhale berdiri disana menatapku. Dia menungguku ternyata, aku berlari kecil untuk bisa segera menghampirinya. Dia pasti bangga jika tau aku baru saja menolak Rafi.

"apa-apaan itu tadi ?" ucap Bhale dengan nada tinggi.

"apa ?" aku bahkan tidak tahu apa yang dia bicarakan. Aku menatapnya bingung.

"kenapa kau masih dengan Rafi ?"

"aku hanya menye-

"sudah berapa kali Rafi mengamhampirimu ?" Bhale memotong pembicaraanku.

"kau bicara apa aku tidak pernah seperti itu"

"kau kan selalu bersikap ramah kepada siapapun jadi kau pasti membiarkan dia terus berada di dekatmu dengan dalih kalian berteman. Iyakan" tuduhan yang diberikan Bhale semakin tidak jelas.

"aku tidak pernah bertemu dengannya, kau jangan menuduh yang aneh-aneh"

"kau pilih dia atau aku" Bhale meremas kepalanya dengan geram "melihat kau dengan dia lagi membuatku ingat kau berciuman dengannya didepan mataku" Bhale mengepalkan kedua tangannya dan membuatku takut.

"berhenti menyalahkanku. Bukankah kau juga sudah akrab dengan perempuan lain di belakangku ?"

"perempuan ? jangan mengalihkan pembicaraan"

"aku melihatmu tadi ke kantin bersama perempuan dan kau tersenyum senang dengannya. Bukankah kau tidak pernah berteman. Lalu dia siapa. Kau pembohong"

Untung parkiran sedang sepi, jadi tidak ada yang melihat kekonyolan kita berdua. Aku tidak tahan lagi, air mataku sudah mengalir tanpa bisa dicegah.

"aku harus pulang" aku mengambil motorku, sedangkan Bhale hanya diam tanpa mencegahku pergi. Padahal aku berharap dia mencegahku lalu mengatakan sesuatu yang bisa membuat pertengkaran kita berakhir.

academic adventuresWhere stories live. Discover now