64. Game over

12 4 0
                                    

Tiga hari setelah kejadian itu aku belum bicara ataupun bertegur sapa dengan Bhale. Dia juga tidak datang ke rumah Kavi untuk belajar bersama. Ketika mataku bertemu dengan bola mata birunya dia selalu menghindar. Ketika aku berjalan menghampirinya, dia menjauh dan berjalan lebih cepat meninggalkanku. Dia masih bicara dengan Kavi dan Juno, bahkan aku tahu dia masih meminjam buku milik Kiran. Tapi denganku, dia seolah memutus semua komunikasi.

Aku semakin diselimuti perasaan bersalah. Aku ingin meminta maaf dan menjelaskan semuanya. Tapi bukankah akan seperti orang tolol jika tidak ada status apapun lalu aku meminta maaf seperti sepasang kekasih yang sedang bertengkar. Aku tidak tahu harus bersikap seperti apa. kemarin aku ingin mencoba cara pura-pura salah kirim, tapi aku urungkan niat itu. Tanganku terlalu gemetaran untuk mengetikkan sebuah kalimat. Aku tidak bisa.

Apa ini berarti memang dia tidak ingin memperjuangkanku. Apa ini artinya memang dia sedang mempermainkanku. Apa memang seharusnya aku memilih yang jelas-jelas serius saja. Aku kembali membandingkan Rafi dengan Bhale. Rafi memang romantis, dia menggunakan bunga untuk mengajakku makan malam. Tapi hubunganku dengan Bhale lebih menyenangkan. Aku dan Bhale melewati banyak fase dari mulai biasa saja, permusuhan lalu berdamai. Itu terlalu indah untuk dibiarkan begitu saja.

Hemm, aku menghela napas lalu keluar kamar dan berpamitan ke mama dan papa yang ada di meja makan. Aku tidak ikut makan karena aku sudah makan lebih dulu sebelum mandi.

"ma berangkat" aku mencium tangan mama.

"Elee kau baik-baik saja ?" mama menangkup wajahku dan memperhatikan setiap detil wajahku. Sepertinya wajah suramku terlihat jelas.

"kau sakit ?" tanya papa ketika aku mencium tangannya.

Aku menggeleng menjawab mereka.

"dia patah hati" ucap Kak Noah. Aku segera memukul lengannya. Sangat memalukan jika keluargaku tahu jika aku begini karena percintaan. Sangat tidak berkelas, seharusnya Elee adalah manusia yang dikejar bukan mengejar.

"aw, marah berarti iya" ucap Kakakku lagi. Dia benar benar menyebalkan. Aku malas bertengkar dengannya dan memilih berlari keluar.

.............................................................................

UAS tinggal dua minggu lagi. Aku harus menambah intensitas belajarku. Aku sengaja berangkat lebih pagi untuk membaca buku di perpustakaan. Beberapa mahasiswa lain juga memenuhi perpustakaan di saat seperti ini. bisa mendapat kursi di dalam perpustakaan adalah hak istimewa. Karena jika tidak kebagian mahasiswa akan keluar masuk perpus dan membaca di taman.

Untung saja kali ini masih sepi. Aku masuk ke rak-rak buku dan mencari buku yang kubutuhkan. Aku harus cari lima buah buku lalu duduk dengan nyaman di kursi agar aku tidak perlu bolak-balik ke rak dan membuat kursiku di alih kuasai orang lain.

Ketika aku sedang mencari buku, Aku melihat Kiran berbisik dengan seseorang di balik tumpukan buku. Aku tersenyum melihatnya dan segera menghampirinya. Tapi ketika dari dekat kulihat dia bicara dengan Bhale, aku segera menghentikan langkahku. Aku bersembunyi di balik rak buku. Maaf aku tidak berniat menguping tapi ekspresi Kiran sangat serius membuatku penasaran.

"Jika kau mempermainkannya, dan membuat dia kehilangan kesempatan mendapatkan pria luar biasa karena menunggumu. Kau tidak termaafkan. Kau seolah memberi harapan tapi apa nyatanya sekarang, kau menghindarinya kan"

Astaga, kalimat yang diucapkan Kiran membuat jantungku berdegup lebih cepat. kenapa Kiran mengatakan itu. sebagian diriku merasa malu karena Bhale tau aku menunggunya, tapi sebagian diriku berterimakasih pada Kiran karena dia sudah membelaku.

"apa Elee marah padaku ?"

Itu pertanyaan yang dilontarkan Bhale, sepertinya aku tidak bisa mendengarkan percakapan ini lebih jauh lagi. Aku tidak sanggup, aku memutuskan untuk keluar dari perpustakaan dan meminjam dua buku untuk kubaca di kantin. aku bergegas pergi dan berharap Kiran ataupun Bhale tidak melihatku.

                ..........................................

Aku sudah duduk manis di kantin ditemani segelas milkshake. Lupakan segala masalah dan fokus UAS. Aku merapalkan segala mantra untuk memberi motivasi diriku sendiri. Aku harus semangat untuk diriku bukan untuk siapapun.

Satu paragraf berhasil kubaca tapi pikiranku masih melayang jauh ke hal tadi. Astaga aku harus berbuat apa. dilihat dari pertanyaan Bhale dan sikap yang dia lakukan sepertinya Bhale memang tidak menyukaiku. Dia hanya takut aku marah. Lebih baik aku tidak perlu berharap lebih padanya. Itu memang menyedihkan, tapi itu kenyataan yang paling masuk akal.

Coba pikirkan jika dia menyukaiku kenapa dia malah menghindariku ketika aku dengan jelas berlari padanya.

Ponselku berdering mendapat pesan dari Kiran, dia menanyakan keberadaanku. Tidak berapa lama dia datang menyusulku ke kantin. aku bisa bernapas lega karena dia datang sendiri tidak dengan Bhale. Aku tidak tahu bagaimana canggungnya jika aku berhadapan dengan Bhale.

"besok hari sabtu, kau akan datang ?" tanya Kiran. Dia menaikkan kaca matanya ke kepala.

"kemana ?"

Kiran memutar bola matanya jengah "Rafi lah"  

Aku ingat sekarang, Kiran membicarakan undangan Rafi untuk makan malam. Aku menggelengkan kepala.

Kiran melotot "kau yakin"

"aku sudah meminta maaf padanya dengan memberikan coklat"

Sekarang ekspresi Kiran berubah cerah lagi "kau memberikannya langsung ?"

Aku menggeleng lagi, dan Kiran melotot lagi "lalu kau titipkan kurir ? kau bercanda"

"aku menitipkan ke salah satu temannya"

"seharusnya kau menemuinya"

"dia mengirimkan bunga padaku juga melalui orang lain, jadi aku juga lakukan cara yang sama kan" aku melakukan pembelaan. Sekarang pikiranku jadi kacau lagi. Kemarin aku sudah terlanjur menolak Rafi dan hari ini ternyata aku tahu fakta jika Bhale tidak menyukaiku. Baguslah aku tidak dapat dua-duanya.

"okelah okelah"

Ponselku yang tergeletak di antara Aku dan Kiran berdenting. Kiran bisa melihat notifikasinya dan isi pesannya. Detik kemudian kami saling pandang.

"kau bertukar pesan dengan Rafi ?"

"tidak. Ini pertama kalinya"

"kau memberikan kontak ponselmu pada Rafi ?"

"tidak"

Apa ini sebuah harapan, tapi aku tidak begitu tertarik dengan Rafi. Aku tidak berharap Rafi yang akan mengirimku pesan. Jika aku membalasnya apa itu artinya Rafi kujadikan sebuah pelarian dari patah hatiku. Apa aku salah jika menggunakan Rafi untuk membantuku melupakan Bhale.

Aku membuka pesan dari Rafi di hadapan Kiran

Elee, terimakasih untuk coklat yang kau berikan. Bukan masalah jika kau menolak undanganku, itu salahku karena terlalu terburu-buru. Kita bisa memulainya dengan perlahan.
Rafi.

"dia manis sekali" Kiran meremas tanganku yang tengah memegang ponsel.

Ya Rafi memang sopan dan baik. Tapi hatiku tidak nyaman dengan perlakuannya yang sopan. Kenapa aku malah semakin tidak nyaman melihat pesannya. Ini bukan salah Rafi, kesalahan ada pada diriku.

"kenapa wajahmu begitu ?" tanya Kiran dengan ketus "kau lebih memilih laki-laki buaya padahal di depanmu ada manusia baik dan sopan"

Aku mengerucutkan bibir "dia terlalu baik untukku"

Kiran menggelengkan kepala dengan kesal "kau adalah alasan kenapa spesies laki-laki baik di dunia ini semakin langka"

.............................................................................

academic adventuresWhere stories live. Discover now