1. Gagal tapi Berhasil

314 6 0
                                    

Hidup itu seperti sekolah

Setiap hari kita belajar dan beberapa hari kemudian akan ada ujian

Jika lulus kita naik kelas. jika tidak lulus, ujian yang sama akan datang (remedi).

Setelah ujian akan belajar hal lain dan akan ada ujian dengan kesulitan lebih meningkat.

Harus meningkat karena kemampuan kita juga meningkat.

Hidup akan terus begitu, kita naik kelas atau remedi sampai Tuhan memutuskan kita cukup untuk belajar dan waktunya menerima raport pertanggung jawaban.

.......................................................................

Aku menatap layar ponsel dengan tatapan kosong. Napas memburu dan detak jantungku semakin kencang. Suara kegaduhan di sekelilingku terasa perlahan hilang, aku tidak dengar apapun. Aku memejamkan mata erat. Mengatur napas. huff huff. Tangan kananku meremas ponsel yang ku genggam. Bagaimana mungkin aku bisa gagal, aku sudah mencurahkan segala kemampuanku, mengerahkan segala usahaku, aku sudah melakukan semuanya. Usaha yang kubangun tiga tahun terakhir kenapa bisa begini. Nilaiku selalu sempurna. Teman-teman, guru sekolah, guru les semua memujiku. Mereka selalu bilang aku akan berhasil. Tapi apa ini. kenapa kenyataannya begini.

Mengingat ucapan pujian yang dilontarkan teman-teman dan guruku membuatku malu mengakui bahwa aku gagal. Bagaimana nanti aku mengatakannya. Aku membuka mata, keriuhan yang terjadi di kelasku kembali terdengar. Suara jerit teman-temanku yang juga diterima, dan suara tangis kesedihan yang gagal beradu menjadi satu. Hari ini adalah hari pengumuman penerimaan mahasiswa baru secara serentak. Aku membaca kembali tulisan yang ada di ponsel. Mau berulangkalipun aku membaca, kalimatnya tetap tidak berubah 'Elee Lavanya, maaf anda tidak diterima di Universitas Indonesia'.

"Elee, bagaimana ? kau diterima ?" Beti mendekatiku. Dia temanku, dia selalu peringkat dua karena aku yang selalu peringkat satu. Dia selalu baik dan ramah di depanku. Tapi aku tahu, dibelakangku dia selalu menjadikanku saingan. Dia tersenyum sangat ramah seperti sekarang, seharusnya dia bisa menebak hasilnya jika lihat wajahku sudah tidak jelas seperti ini. Tapi dia tetap bertingkah seolah tidak tahu apa-apa.

Aku menggelengkan kepala. Lalu wajah beti, aku sempat melihat dia menarik ujung bibir tersenyum tapi segera berganti menjadi sedih. Maksutku sok sedih.

"aku turut prihatin, kamu jangan sedih Elee masih banyak Universitas yang bisa menerimamu. Kau pasti bisa dengan mudah lolos. Tapi jika waktunya cukup, karena kita akan disibukkan dengan ujian akhir" beti mengusap-usap pundakku. Ingin rasanya aku membantingnya saat itu juga. Sudah hatiku kesal, ditambah kelakuan beti yang menyebalkan. Tidak perlu dia ingatkan juga aku tahu aku akan kesulitan mengatur waktu untuk mengikuti tes dan untuk ikut ujian sekolah.

Aku mengangguk dan memaksakan senyumku. Tapi beti lagi-lagi berceloteh.

"seharusnya kemarin kamu melakukan riset lebih dalam Elee bagaimana peminat tahun ini, dan seberapa besar peluangmu diterima di kampus itu agar kau tidak perlu sibuk mencoba tes di kampus ini kampus itu. itu membuang waktu padahal kita harus fokus dengan ujian kan"

Arrrg

Sebenarnya dia ingin menghiburku atau membuatku merasa bersalah. Kenapa dia menjabarkan analisis kegagalanku. Rubah licik sialan. Dia bisa merasa menang karena kampus yang dia pilih memang standartnya di bawah kampus yang kuinginkan. Dia memang memilih kampus yang tepat sesuai dengan grade nilainya. Wajar saja jika dia langsung lolos.

"terimakasih atas masukannya, kamu tidak perlu repot-repot. Aku sibuk sekali aku harus keperpustakaan" aku harus segera kabur sebelum rubah ini membuatku memiliki taring.

academic adventuresWhere stories live. Discover now