18] Between You and Her

Start from the beginning
                                    

Dingin dan gelap. Barangkali dua kata itu yang bisa menggambarkan bagaimana dunia Jungkook saat ini. Kehilangan harapannya. Kehilangan alasannya untuk tetap bertahan di dunia yang tak lagi berpihak padanya.

Sudah lama sekali, Jian tahu, seberapa buruk hubungan Jungkook dengan sang ayah. Lebih tepatnya setelah mengetahui kelakuan bajingan ayahnya yang berselingkuh tanpa tahu malu di depan matanya. Semenjak itu, Jungkook teramat membenci ayahnya. Hanya Jena alasannya bertahan dan tetap menjadi anak laki-laki kuat yang bisa diandalkan.

Bukankah wajar jika Jungkook merasa dunianya tak lagi bermakna setelah sang ibu pergi?

"Aku harus bagaimana, Ji? Aku harus bagaimana untuk membuat segalanya terasa lebih baik? Sesak ... dadaku sesak sekali," tuturnya sambil mendongak, memeluk pinggang Jian kelewat erat. Matanya yang bulat dan biasa memancarkan kehangatan, kini tampak kosong pun penuh luka.

Jian menggeleng, mengusap lembut pipi Jungkook serta menyeka air matanya. "Tidak apa-apa kalau sesak, tidak akan ada yang menghakimi lukamu ... tidak apa kehabisan napas, aku akan memelukmu dengan erat, Jeon."

Gadis itu menarik napasnya sedalam mungkin tatkala rasa ngilu itu menggerus perasaannya.

"Aku di sini, Sayang." Jian tak kuasa menahan air matanya sendiri melihat bagaimana lugunya tatapan itu diberikan oleh Jungkook padanya. Kembali air mata itu jatuh dari pelupuk mata Jungkook, mengalir mengenaskan di kedua pipinya yang pucat.

Lalu dengan suara seraknya, lelaki itu berbisik pelan, nyaris tak terdengar oleh Jian.

"Jangan tinggalkan aku, Ji. Aku tidak memiliki siapapun lagi."

─────

Gelap dan sunyi. Itulah yang menjadi teman Hwang Jihyo selama menunggu Jungkook pulang ke rumah.

Jarum jam terus berdentak menunjukkan waktu nyaris tengah malam tetapi belum ada sedikitpun tanda-tanda bahwa suaminya itu akan pulang.

Satu helaan napasnya keluar begitu mengenaskan. Membawa kakinya keluar kamar untuk mengecek keberadaan Jian di kamar sebelah. Saat netranya menangkap kekosongan di kamar bernuansa cokelat putih itu, Jihyo meremat kuat gagang pintu sambil memejamkan mata.

Tidak perlu berpikir terlalu keras untuk menyadari bahwa keduanya mungkin tengah bersama, menghabiskan waktu berdua di apartemen milik sang suami. Rasanya, setelah Jihyo mengetahui hubungan mereka, baik Jungkook maupun Jian sama sekali tidak peduli terhadap perasaannya. Malah yang terjadi, keduanya semakin terang-terangan menunjukkan perasaan, terutama Jungkook.

Seakan Jihyo tidak pernah ada. Seolah ia tak memiliki sedikitpun perasaan sedih mengetahui mereka menjalin hubungan di belakangnya.

Jihyo tidak tahu harus berbuat apalagi untuk membuat Jungkook sadar bahwa mereka telah menikah. Di hadapan Tuhan dan kedua orang tuanya. Tidakkah pria itu berpikir kalau pernikahan ini bukan hanya sekadar permainan belaka?

Bukannya Jihyo tidak mengerti dan mencoba memahami bagaimana Jungkook dan Jian saling mencintai. Pasalnya, mereka terikat dalam sebuah pernikahan. Bukan berkencan yang dengan mudah diakhiri hubungannya. Ada begitu banyak pertimbangan matang yang harus dipikirkan sebelum mengambil keputusan dan tindakan.

Gadis itu lantas memilih turun ke bawah—menyalakan lampu ruang tengah dan bergelung di atas sofa. Membiarkan suara televisi menemani malamnya yang senyap dan gelap. Sesekali mengecek ponsel untuk melihat apakah Jungkook membalas pesannya.

Ia terus menunggu hingga tak sadar terlelap ketika jarum jam hampir menyentuh angka tiga dini hari. Sendirian. Memeluk erat tubuhnya sendiri.

Saat pagi datang menjemput, Jihyo dibangunkan oleh suara deru mesin mobil yang terparkir di halaman rumah. Buru-buru gadis itu beranjak membuka pintu.

AEONIAN [Completed]Where stories live. Discover now