Bagian 19

141 27 8
                                    

Hamparan padang rumput memanjakan sepasang mata yang baru pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini, udara segar karena banyak pepohonan membuat siapa pun betah ketika berada di sana

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Hamparan padang rumput memanjakan sepasang mata yang baru pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini, udara segar karena banyak pepohonan membuat siapa pun betah ketika berada di sana. Apalagi untuk gadis berkuncir dua yang mendambakan kedamaian, lokasi tersebut adalah impiannya.

Hari ini Salsa merasa bebas karena kedua orang tuanya ada kerjaan sehingga mereka tidak berada di rumah, kesempatan tersebut digunakan gadis itu untuk keluar dan berakhirlah di taman yang terdapat danau ini. Ia benar-benar jatuh cinta dengan pemandangan yang disajikan, sangat menyejukkan hati.

Ia mengedarkan mata mencari seseorang yang memiliki janji temu di sini, tetapi tidak ada tanda-tanda keberadaannya. Hanya beberapa orang yang tidak Salsa kenal sedang bercengkerama dengan pasangan masing-masing, sehingga gadis itu memutuskan untuk duduk di salah satu bangku yang tersedia di bawah pohon dan menghadap langsung ke arah danau.

"Cantik."

Suara seseorang dari samping kirinya membuat Salsa menoleh, ia tersenyum kecil dan kembali menghadap ke arah depan. Gadis yang memakai dress berwarna biru langit itu mengangguk pelan, lalu menyahut, "Iya. Pemandangan danaunya cantik banget."

"Kamu cantik," jelas Rey.

Seketika wajah polos Salsa yang tidak dipoles apa pun berubah warna menjadi merah muda, kakinya yang tadi diam langsung bergerak asal dan mengalihkan pandangan ke arah lain asal bukan melihat Rey. Jantung gadis itu kembali berulah dengan berdetak sangat kencang, hingga ia khawatir laki-laki di sampingnya bisa mendengar debaran tersebut.

"Kenapa ngajak aku ketemuan di sini, Kak?" tanya Salsa mengalihkan percakapan.

"Refreshing mungkin," jawab Rey tak yakin.

Sedikit banyak Rey sudah tahu tentang Salsa, ia sempat memaksa Fiona untuk bercerita. Adiknya bilang gadis yang duduk di sampingnya itu ingin berlibur di tempat yang tidak terlalu ramai dan memberikan kedamaian, jadi Rey berusaha mewujudkannya hari ini.

Setiap bertemu dengan Salsa, sorot mata gadis itu selalu sendu. Namun, Rey juga tidak enak untuk bertanya karena mereka baru dekat belakangan ini. Hanya saja, rasa penasarannya kian membesar hingga memberanikan diri untuk bertanya. "Are you okay?" tanya laki-laki itu.

Detik itu pula tubuh Salsa langsung menegang, ia menoleh dan menatap mata Rey sangat dalam. Entah kenapa air mata gadis itu tiba-tiba mendesak keluar, sesak yang selama ini dipendam semakin terasa ketika ada orang yang bertanya keadaannya.

"Aku capek, Kak," lirih Salsa sambil mengusap aliran air mata yang tercipta di pipinya.

Tubuh Rey berputar sempurna hingga menghadap langsung ke arah Salsa, ia tidak mengerti dengan ucapan yang baru saja keluar dari mulut gadis di depannya. "Kenapa?" tanya laki-laki itu.

"Enggak. Aku cuma capek aja sama hidup yang kayak gini terus," ujar Salsa.

Rey tahu jika Salsa belum bisa terbuka dengannya, ia hanya berdeham pelan sebagai respons. Laki-laki itu merutuki diri yang salah membuka percakapan di antara mereka, sehingga suasana menjadi canggung dan hening.

"Oh, ya, Fiona cerita kalau kamu gak bisa gambar. Gimana kalau kita ngegambar bareng aja? Nanti kakak ajarin kamu," tawar Rey dengan nada yang dibuat seantusias mungkin agar Salsa tertarik.

Kepala Salsa menggeleng pelan, mood-nya sedang tidak baik saat ini. Jangankan untuk menggambar, bergerak saja rasanya enggan. Gadis itu menghela napas secara kasar, ia benar-benar kehilangan selera hidup sekarang.

"Kok, gitu? Padahal kakak ada bawain peralatannya juga buat kamu," kata Rey.

Mendadak rasa tidak enak menyelusup masuk di dalam hati Salsa, ia baru sadar jika Rey membawa tas berukuran sedang yang bisa dipastikan isinya lumayan berat. "Ya udah, tapi aku cuma mau lihat kakak ngegambar aja. Aku kapan-kapan aja belajarnya," ucap Salsa.

"Oke."

Tas yang tadi diletakkan di atas rumput langsung diraih, Rey mengeluarkan dua buah kamvas berukuran 20x30 cm dan 40x60 cm beserta alat-alatnya. "Satunya buat kamu, kali aja mau coret-coret," ujar laki-laki itu sambil memberikan kamvas paling kecil kepada Salsa.

Tangan Rey dengan lincah melukis pemandangan depan mereka, sementara Salsa hanya melihat sambil mencoret asal kamvas yang tadi diberikan laki-laki di sampingnya. "Kakak sama Fiona belajar melukis sama siapa?" tanya Salsa penasaran, ia kagum dengan kakak beradik yang satu itu.

"Kakak dulu dari masuk SMP sampai tamat SMA ikut les lukis, tapi sekarang tempat lesnya udah ditutup karena kurang peminat. Kalau Fiona lebih suka belajar sama mama, bakat melukis ini emang diturunkan dari beliau," jawab Rey dengan mata yang tak lepas dari objek di depannya.

Melihat kamvas Rey yang semakin terlihat cantik dari segi penggambaran dan warna, rasa iri mulai menyerang hati Salsa. Ia juga ingin memiliki bakat untuk menghasilkan suatu produk, tetapi tidak ada waktu untuk mencari tahu apalagi mengembangkannya.

Hanya keheningan yang melingkupi dua orang berbeda jenis tersebut, hingga beberapa saat kemudian Rey menyelesaikan lukisannya. Salsa berdecak kagum, tangan laki-laki itu sangat kreatif hingga hanya membutuhkan waktu dua puluh menit sudah jadi.

"Bagus banget," puji Salsa.

Gadis itu bertepuk tangan sebagai apresiasi atas lukisan Rey yang di luar ekspektasinya. Walaupun hanya di atas kanvas, tetapi tampak seperti asli. Ia tak henti berdecak kagum, bahkan lukisan Rebecca dan Fiona kalah jauh. Apalagi memang Rey kuliah arsitektur, sudah jelas jika tangannya sangat terlatih dalam menggambar atau melukis.

"Buat kamu," ucap laki-laki itu.

"Ha?" Sedetik kemudian Salsa menyesali ucapan refleks yang keluar dari mulutnya, ia tertawa canggung sambil menggaruk pipi sebelah kanan. "Makasih, Kak. Aku suka banget sama lukisannya, bener-bener luar biasa," tutur Salsa.

Mereka berjalan berdampingan saat keluar dari taman, lalu berpisah di parkiran karena tempat Pak Ardi menunggu berbeda dengan lokasi Rey menyimpan kendaraan miliknya. Salsa menaiki mobil yang selama ini mengantar ke mana pun ia pergi, sementara Rey menggunakan motor kebanggaan laki-laki itu.

"Lukisannya cantik, Neng. Dari cowok tadi, ya?" tanya Pak Ardi.

"Iya, Pak. Jangan bilang papa atau mama, ya!" pinta Salsa.

Selama ini Pak Ardi tidak pernah melaporkan kegiatan Salsa yang jelas-jelas dilarang oleh kedua orang tuanya, bekerja dengan mereka sejak beberapa tahun lalu membuat laki-laki yang umurnya lebih dari setengah abad itu tahu permasalahan keluarga yang menjadi majikannya. Ia menaruh simpati pada gadis yang duduk di bangku belakang, hingga berani mengambil risiko dipecat jika ketahuan mengantar Salsa ke tempat lain selain sekolah dan les.

"Siap."

Senyum Salsa tak luntur dari wajahnya, ia menatap lukisan tersebut dengan sangat lekat. Gadis itu menyimpan baik-baik memori saat Rey melukis tadi, wajah serius yang ditampilkan kakak Fiona membuatnya semakin terpesona.

"Aku suka sama kakak."

"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Little Things [END]Where stories live. Discover now