Bagian 9

186 42 71
                                    

Waktu istirahat kedua Salsa pergunakan untuk mengumpulkam teman-temannya yang sudah dipilih kemarin, tadi pagi Anjani mengirim WhatsApp kepada mereka agar berkumpul di taman sekolah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Waktu istirahat kedua Salsa pergunakan untuk mengumpulkam teman-temannya yang sudah dipilih kemarin, tadi pagi Anjani mengirim WhatsApp kepada mereka agar berkumpul di taman sekolah. Fiona, Liana, Zifa, Ria, Rebecca, dan Selena tetap datang meski belum dijelaskan apa pun.

Siku Salsa menyenggol tangan Anjani agar segera membuka suara, ia masih malu dan belum terlalu yakin dengan enam orang tersebut. "Oke, aku ucapin makasih buat kalian yang udah dateng meskipun bingung tujuan disuruh ke sini ngapain. Jadi, aku dan Salsa sempat diskusi kemarin, mau buat klub. Sebenarnya ini ide Salsa, sih, tapi dia malu buat ngomong," ucap Anjani yang langsung mendapat pukulan di bahunya dari Salsa.

"Jelasin!" perintah Anjani.

Kepala Salsa menggeleng dengan cepat, lalu ia berbisik, "Kamu aja. Kan, aku udah cerita." Gadis itu kembali menundukkan pandangan dan memainkan batu kecil yang berada di dekatnya.

Rebecca yang kebetulan duduk di dekat Anjani dan Salsa langsung menyahut, "Gak apa-apa, Sal. Ngomong aja." Ia tak sengaja mendengar bisikan Salsa, lagi pula tempat duduk mereka lumayan berdekatan.

Sebelum berbicara, Salsa mengangkat kepala dan melihat teman-temannya satu per satu. Ia berdeham pelan, kemudian menjelaskan, "Klub ini didirikan untuk orang-orang yang merasa insecure. Nanti agendanya akan ada sharing dan saling memberi solusi. Mungkin juga akan ada kegiatan lain, tergantung kesepakatan bersama. Kayaknya cuma itu aja yang perlu aku jelasin."

"Nah, kira-kira kalian tertarik dan setuju buat gabung sama kita?" tanya Anjani mengambil alih.

Gadis yang berada di pojok kanan langsung mengangkat tangan. "Gue setuju," jawab Selena tanpa berpikir terlalu lama.

"Aku juga setuju. Aku udah capek di-bully dan overthingking gara-gara tersugesti sama kata-kata mereka. Mungkin dengan klub ini setidaknya ada tempat buat cerita," sahut gadis yang memakai almamater hitam dan ber-name tag Fiona Putri Bagaskara.

"Bener juga," kata Rebecca setelah mendengarkan ucapan Fiona.

"Gue ikut, deh." Gadis berkacamata yang duduk di samping Anjani ikut menyahut. Namanya Ria, satu-satunya anak IPS di sini.

"Gue juga," ujar Liana.

"Jadi, setuju semua, kan?" tanya Salsa penuh harap.

Zifa mengangguk, kemudian mengatakan, "Iya. Semoga dengan adanya klub ini, kita bisa menghilangkan rasa insecure. Seenggaknya udah gak separah sekarang."

Bel tanda istirahat berakhir berbunyi nyaring, mereka segera membubarkan diri dan kembali ke kelas masing-masing. Setelah semua menyetujui, Salsa langsung meminta Anjani mengirim nomor yang lain dan membuat grup WhatsApp dengan bernamakan Perempuan Istimewa.

❤❤❤

Sepulang dari les, Salsa terpaksa duduk di ruang keluarga karena mamanya menahan di sana. Padahal ia sendiri belum berganti baju karena pulang sekolah langsung berangkat les, dengan sangat terpaksa gadis itu menuruti kemauan Safira.

"Ada kabar bahagia," ucap wanita berdaster itu.

"Apa, Ma?" tanya Salsa penasaran.

Safira tak langsung menjawab, ia meraih ponsel yang terletak di atas meja dan menelepon seseorang. Hingga dering ketiga, barulah panggilan mereka tersambung. "Hai, Sayang. Selamat, ya, kamu terpilih jadi dokter teladan tahun ini," kata Safira riang.

"Rachel dipilih?" tanya Bram antusias.

Kepala Safira mengangguk berkali-kali, pancaran matanya sangat menandakan jika wanita itu sedang berbahagia. Salsa terdiam kaku melihatnya, ia tak pernah diberikan tatapan seperti itu. Mungkin suatu saat nanti, entahlah.

Dengan senyuman terpaksa, Salsa mendekat ke arah mamanya. "Selamat, ya, Kak," ujar gadis itu.

"Makasih, Ma, Pa, Sal. Ini juga berkat doa dan semangat dari kalian," sahut Rachel.

Mata Safira melirik Salsa sebentar, lalu kembali tersenyum ke arah kamera. "Aduh, Hel. Baterai ponsel mama kayaknya hampir habis, deh. Nanti mama telepon lagi, ya," ucap Safira.

"Oke, Ma. Dah." Tangan Rachel melambai ke arah kamera sebelum sambungan mereka terputus.

"Lihatkan seberapa sukses kakak kamu. Udah cantik, berprestasi, pekerjaan menjamin. Mama yakin gak ada cowok yang berani nolak dia, malah jadi incaran buat dijadiin istri. Harusnya kamu bisa, Salsa. Di umur 16 tahun ini, udah banyak hal yang kamu lewatkan. Lomba gak pernah menang, menang pun paling dapat harapan. Apa yang bisa dibanggain?" sarkas Safira dengan tangan yang terlipat di depan dada.

Krisis kepercayaan diri Salsa kembali turun saat mamanya memuji sang kakak, ia merasa tidak ada apa-apanya dibanding dengan Rachel. Piala dan piagam di lemari yang dipamerkan di ruang tamu menjadi bukti keberhasilan gadis 24 tahun itu, belum lagi yang berada di sekolah dan universitasnya.

"Udah, Ma. Papa gak mau denger kamu ngomel-ngomel, pusing. Salsa, masuk kamar!" perintah Bram.

Dalam hati, Salsa mengucap banyak terima kasih kepada Bram yang secara tidak langsung sudah menyelamatkannya. Sesampainya di kamar, ia segera menyimpan tas dan membuka almamater yang membaluti tubuhnya.

"Otakku rasanya mendidih. Udah tadi di sekolah dan les pelajarannya berat-berat, sekarang ditambah lagi dengan beban Kak Rachel," gumam Salsa.

Ia bukan nyalahkan Rachel atas semua ini, malah Salsa ikut senang melihat pencapaian kakaknya selama ini. Namun, gadis itu hanya tak suka cara mamanya yang selalu membandingkan. Pundaknya seolah ada beban puluhan kilo yang harus diangkat seorang diri.

"Berendam sebentar gak apa-apa, kan, ya?"

Mata Salsa tak sengaja menatap buku kecil yang terselip di antara tumpukan pulpen, ia tersenyum kecil sebelum mengambilnya. Jika berada di film, mungkin kepalanya ada mengeluarkan lampu.

Salsa masuk ke kamar mandi sambil membawa buku note beserta pulpen, ia ingin berendam sembari merancang targetnya selama setahun mendatang agar hidupnya lebih terencana. Walaupun tahu jika kendali masih pada kedua orang tuanya, setidaknya ada beberapa hal yang harus dicapai atas keinginan dirinya sendiri.

Ia mengisi bathup dengan air hangat, lalu memberi sahun cari lumayan banyak agar penuh berbusa. Sebelum masuk, Salsa menghidupkan aroma terapi agar lebih relaks saat berendam. Gadis itu menenggelamkan tubuhnya terlebih dahulu kecuali tangan, lalu meraih note yang sempat diletakkan di tepi bathup.

"Gak ada salahnya, kan, kalau aku pengen kuliah di universitas terbaik di Indonesia? Seenggaknya harapan ini bisa memacu semangat aku buat belajar lebih giat lagi, urusan diterima atau ditolak belakangan," harap Salsa dengan senyuman lebar sambil membayangkan jika impiannya ini benar-benar tercapai.

Namun, sedetik kemudian wajah gadis itu kembali murung. "Tapi aku gak boleh terlalu berharap. Kak Rachel aja gak bisa, apalagi aku? Mama sama papa pasti ketawa kalau denger impian aku yang pengen kuliah di sana. Paling kalau gak lulus aku bakal kuliah di kampus papa ngajar," lirihnya.

"Gak apa-apa. Asal aku udah nyoba, jadi gak penasaran lagi. Daripada cuma bisa berharap dan mengkhayal."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Little Things [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang